RESENSI BUKU: LANDREFORM DAN GERAKAN PROTES PETANI KLATEN



Identitas Buku
Judul : Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965
Penulis : Soegijanto Padmo
Terbit : 2000
Penerbit         : Media Pressindo
Tebal buku : 180 halaman

Pada masa pemerintahan tradisional, tanah di wilayah kasunanan dikuasai oleh sunan, perusahaan perkebunan dan petani. Perusahaan perkebunan menguasai tanah milik sunan atau pun yang dimiliki petani dengan jalan menyewa. Petani diwajibkan untuk membayar pajak sewa serta berkewajiban lain terhadap desa. 

Di dalam masyarakat pedesaan tanah mempunyai arti yang penting yaitu sebagai ekonomi dan posisi social pemiliknya. Strafikasi social di dalam masyarakat pedesaan erat hubungannya dengan pemikiran tanah. Dengan adanya perjalanan waktu jumlah petani makin lama makin bertambah sedangkan kemungkinan untuk membuka tanah baru untuk daerah klaten tidak mungkin. 

Petani pemilik tanah di daerah klaten pada umumnya hanya memiliki sawah satu sanggan, yang terdiri dari dua atau tiga patok. Setelah meninggal akan mewariskan semua hartanya termasuk tanah kepada anak-anaknya. Anak sebagai ahli waris dari orang tuanya, akan membagi adil seluruh harta warisannya dan ada juga yang menyewakan tanahnya kepada orang lain. Untuk menyewa tanah sawah milik orang lain seorang petani harus mempunyai uang. Selain ada hubungan sewa-menyewa di antara petani di daerah klaten, petani di daerah ini empunyai kewajiban untuk menyerahkan sebagiaan dari sawahnya untuk kepentingan Negara yaitu, di sewa oleh Perusahaan Perkebunan Negara untuk di Tanami tanaman perkebunan. 

Rendahnya uang sewa yang diterima oleh petani ternyata menimbulkan reaksi protes di kalangan petani. Protes itu dilakukan oleh perorangan, tetapi sering pula merupakan erakan oleh sekelompok tani. Bentuk protes dari petani ini adalah menolak untuk menerima uang sewa, memperlambat penyerahan sawah kepada PPN. Bentuk lain adalah perusakan kebun tebu, pembakaran kebun tebu serta pembakarna gudang-gudang penyimpanan daun tembakau. 

Adanya lembaga persewaan, lembaga gadai serta lembaga bagi hasil seringkali merupakan benih- benih terjadinya ketegangan di dalam masyarakat. Dengan system tradisional, tuan tanah dapat seenaknya menetapkan angka imbangan bagi hasil dan unsure pemerasan lebih dominan dibandingkan unsure membantu orang lain. 

Persewaan yang dilakukan pemerintah turut pula memberikan sumbangan untuk mendorong timbulnya keresahan di dalam masyarakat petani. Ketidakseimbangan di dalam penguasaan tanah yang seringkali berhubungan erat dengan menumpuknya hasil produksi pertanian di tangan beberapa orang petani saja dapat menimbulkan akibat yang luas, antara lain di dalam bentuk ketegangan- ketegangan social. 

Gerakan protes petani di klaten ini erat hubungannya dengan kebijaksanaan pemerintahan RI didalam bidang agrarian. Landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan yang bersangkutan dengan pengusaan tanah. a. larangan mengusai tanah pertanian yang melampaui batas, b. larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut absentee, c. redistribusi tanah-tanah kelebihan dari batas maksimun serta tanah-tanah yang terkena larangan absentee, d. pengaturan tentang soal pengembalian kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian disertai larangan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang terlampau kecil. 

Keresahan social yang sudah berlangsung lama akan menimbulkan ketegangan-ketegangan di dalam masyarakat. Bila sudah mencapai puncaknya maka ledakan-ledakan yang berupa pertentangan terbuka dapat terjadi. Pertentangan terbuka yang timbul di masyarakat pedesaan daerah klaten antara lain tampak dalam bentuk penganiayaan oleh seseorang atas orang lain. Apabila tekanan ketegangan itu sudah mencapai puncaknya, maka ledakan-ledakan berupa pertentangan terbuka dapat terjadi. Pertentangan terbuka yang timbul di masyarakat pedesaan daerah klaten antara lain tampak bentuk penganiayaan oleh seseorang atas orang lain, pertentangan antarkelompok petani serta gerakan protes yang ditujukan kepada pemerintah. 

Prosedur pelaksanaan perjanjian pengalihan hak atas tanah secara rukun sering merupakan sumber terjadinya ketegangan di dalam masyarakat. Terbatasnya kesempatan untuk memperoleh tanah garapan seringkali dipergunakan oleh seseorang untuk memperoleh pengaruh dikalangan petani. Gerakan protes tani terhadap kebijaksanaan pemerintah di dalan menyewa tanah untuk kepentingan perusahaan perkebunan, sudah ada sejak tahun 1962.

Pada tahun 1962 Bupati Klaten mengeluarkan beberapa peraturan yang berhubungan dengan persewaan tanah untuk perusahaan perkebunan. Di dalam peraturan ini ditetapkan antara lain bahwa petani di wajibkan menyerahkan satu patok dari sawahnya, serta penanaman tanaman perkebunan yang mempergunakan system glebagan, untuk memenuhi kebutuhan perusahaan perkebunan akan tanah areal. Pada tahun 1961 petani hanya di wajibkan menyerahkan setengah patok sawahnya serta di usahakan oleh perusahaan perkebunan dengan system walik lubang. 

Atas peraturan itu, petani merasa dirugikan. Mereka menolak kebijaksanaan pemerintah itu. Gerakan protes petani terhadap tuan tanah di daerah klaten terjadi untuk pertama kalinya ada bulan Februari 1964. Tindakan ini dinamakan aksi sefihak atau aksef. Adanya pengaruh dari Partai politik yaitu PKI dan PNI. PKI yang mendukung petani membuat artikel yang dimuat di surat kabar atau majalah yang berisi penghisapan yang dilakukan oleh tuan tanah dan gerakan petani untuk merebut tanahnya kembali. Orang komunis yang menulis artikel tersebut dibalas juga oleh PNI yang juga membuat artikel tentang Penguasaan tanah. 

Jika dibandingkan dengan Bukunya Prof.Dr. Sartono Kartodirjo dalam pemberontakan Petani Banten disini banyak mengulas tentang jalannya pemberontakan yang terjadi di banten. Terjadinya keresahan social yang terjadi membuat alsana masyarakat memberontak. 



Comments

Popular posts from this blog

Makalah Kerajaan Mataram Kuno Lengkap

Merpati Endemik Jenis Keter

JADWAL KEGIATAN RAIMUNA CABANG VI