Makalah Kerajaan Mataram Kuno Lengkap
Makalah Kerajaan Mataram Kuno Lengkap ini adalah makalah yang berisi seputar kerajaan bercorak hindu budha di Indonesia. makalah ini Kerajaan Mataram Kuno merupakan lanjutan dari beberapa makalah kerajaan lain seperti Kerajaan Singosari, Kerajaan Tarumanegara, dan Kerajaan Majapahit. Makalah Kerajaan Mataram Kuno dapat digunakan oleh siapapun tuntuk kepentingan pendidikan.
Candi Borobudur Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno. |
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerajaan Mataram kuno adalah kerajaan zaman hindu yang banyak meninggalkan sejarah melalui prasasti yang ditemukan. Sejak abad 10 kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dimulai dari pemerintahan Mpu Sindok yang kemudian di gantikan oleh Sri Lokapala. Selanjutnya adalah Makuthawangsa Wardhana, terakhir adalah Dharmawangsa Teguh sebagai penutup Kerajaan Mataram Kuno atau medang.Secara umun kerajaan Mataram Kuno pernah di pimpin oleh 3 dinasti yang pernah berkuasa pada waktu itu, yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Sailendra, dan Wangsa Isyana. Wangsa Isyana merupakan dinasti yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno setelah berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Pendiri dari dinasti Isyana adalah Mpu Sindok, baru membangun kerajaannya di Tamwlang tahun 929. Kerajaan yang didirikan Mpu Sindok merupakan lanjutan dari kerajaan mataram.Dengan demikian Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Perpindahan kerajaan ke Jawa Timur tidak disertai dengan penaklukan karena sejak masa Dyah Balitung, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno telah meluas hingga ke Jawa Timur.
Beberapa ahli sejarah berpendapat tentang alasan perpindahan Kerajaan Mataram Kuno Jawa Tengah atau Kerajaan Medang Mataram ke Kerajaan Mataram Kuno Jawa Timur oleh Empu Sindok. Pertama, karena adanya serangan dari Sriwijaya sebagai bentuk hukuman kepada bhumi Jawa. Kedua, adanya bencana alam berupa gunung meletus, mengingat banyak kita temukan gunung berapi di Jawa Tengah. Kerajaan baru yang dipindahkan Empu Sindok dari Jawa Tengah ke Jawa Timur tetap bernama Mataram.
Hal itu seperti yang disebutkan dalam Prasasti Paradah yang berangka tahun 865 Saka (943 M) dan Prasasti Anjukladang yang berangka tahun 859 Saka (9 73 M). Letak ibu kota kerajaannya tidak ada sumber yang pasti menyebutkan. Berdasarkan Prasasti Paradah dan Prasasti Anjukladang disebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur adalah Watugaluh. Kemungkinan ibu kota itu berada di Desa Watugaluh sekarang, dekat Jombang di tepi Sungai Brantas.
Akan tetapi, berdasarkan Prasasti Taryyan yang berangka tahun 851 Saka (929 M) disebutkan bahwa ibu kota Mataram Kuno di Jawa Timur adalah Tomwlang. Diperkirakan nama Tomwlang identik dengan nama desa di Jombang (Jawa Timur).
Tujuan Penulisan makalah ini adalah untuk:
Kerajaan Mataram Kuno merupakan kerajaan yang berdiri pada tahun 732 Masehi. Kerajaan ini berdiri di desa Canggal (sebelah barat Magelang). Pada saat itu didirikan sebuah Lingga (lambang Siwa) diatas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja yang didirikan oleh Raja Sanjaya. Daerah ini letaknya di sebuah Pulau Mulia, Jawadwipa, dimana daerah ini merupakan daerah yang kaya raya akan hasil bumi terutama padi dan emas sehingga di masa selanjutnya kerajaan ini banyak melakukan hubungan dagang dengan daerah-daerah lain.
Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan intinya yang sering disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan dan gunung, seperti Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi-Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. Daerah ini juga dialiri oleh banyak sungai, seperti Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo, dan Sungai Bengawan Solo. Itulah sebabnya daerah ini sangat subur.
Terdapat dua sumber utama yang menunjukan berdirinya Kerajaan Mataram Kuno, yaitu berbentuk prasasti dan candi-candi yang dapat kita temui sampai sekarang ini. Adapun untuk prasasti, Kerajaan Mataram Kuno meninggalkan beberapa prasasti diantaranya :
Kemudian setelah Rakai Panunggalan meninggal, beliau digantikan oleh Rakai Warak. Pada zaman pemerintahan Rakai Warak, ia lebih mengutamakan agama Buddha dan Hindu sehingga pada saat itu banyak masyarakat yang mengenal agama tersebut. Setelah Rakai Warak meninggal kemudian digantikan oleh Rakai Garung. Pada masa pemerintahan Rakai garung pembangunan kompleks candi dilanjutkan di Jawa Tengah bagian utara terutama di sekitar pegunungan Dieng. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya kompleks bangunan candi Hindu di dataran tinggi Dieng, seperti candi Semar, candi Srikandi, candi Punta dewa, candi Arjuna dan candi Sembadra. Selain itu di bangun pula kompleks candi Gedong Sanga yang terletak di sebelah kota Semarang sekarang.
Setelah Rakai Garung meninggal ia digantikan oleh Rakai Pikatan. Berkat kecakapan dan keuletan Rakai Pikatan, semangat kebudayaan Hindu dapat dihidupkan kembali. Kekuasaannya pun bertambah luas meliputi seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur serta ia pun memulai pembangunan candi Hindu yang lebih besar dan indah yaitu candi Prambanan (Candi Lara Jonggrang) di desa Prambanan. Setelah Raja Pikatan wafat ia digantikan oleh Rakai Kayuwangi. Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi Kerajaan banyak menghadapi masalah dan berbagai persoalan yang rumit sehingga timbullah benih perpecahan di antara keluarga kerajaan. Selain itu zaman keemasan Mataram Kuno mulai memudar serta banyak terjadi perang saudara.
Saat Rakai Kayuwangi meninggal ia digantikan oleh Rakai Watuhumalang. Rakai Watuhumalang berhasil melanjutkan pembangunan Candi Prambanan. Kemudian setelah Rakai Watuhumalang meninggal ia digatikan oleh Rakai Watukura Dyah Balitung. Pada masa pemerintahan Rakai Dyah Balitung dikenal 3 jabatan penting, yaitu rakryan i hino (pejabat tinggi sesudah raja), rarkyan i halu dan rarkyan i sirikan. Ketiganya merupakan tritunggal. Dyah Balitung memerintah sampai tahun 910 M dan meninggalkan banyak prasasti (20 buah). Ada prasasti yang menyebutkan bahwa Raja Balitung pernah menyerang Bantan (Bali). Setelah Rakai Watukura Dyah Balitung wafat ia digantikan oleh Daksa dengan gelar Sri Maharaja Sri Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya. Sebelumnya ia menjabat sebagai rakryan i hino. Ia memerintah dari tahun 913-919 M. Pada masa pemerintahan Raja Daksa inilah pembangunan Candi Prambanan berhasil diselesaikan. Pada tahun 919 M Daksa digantikan oleh Tulodhong yang bergelar Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodhong Sri Sajanasanmattanuragatunggadewa. Masa pemerintahan Tulodhong sangat singkat dan tidak terjadi hal-hal yang menonjol.
Pengganti Tulodhong adalah Wawa. Ia naik tahta pada tahun 924 M dengan gelar Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wajayalokanamottungga. Sri Baginda dibantu oleh Empu Sindok Sri Isanawikrama yang berkedudukan sebagai Mahamantri i hino.
Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dalam makalah ini sebagai berikut:- Bagaimana pendirian Kerajaan Mataran Kuno?
- Bagaimana Kehidupan Politik, Budaya dan Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno?
- Bagaimana kejayaan dan keruntuhan Kerajaan Mataram Kuno?
Tujuan
Tujuan Penulisan makalah ini adalah untuk:
- Mengetahui sejarah pendirian Kerajaan Mataram Kuno.
- Mengetahui Kehidupan politik, budaya, dan peninggalan kerajaan Mataram Kuno.
- Bagaimana Kejayaan dan keruntuhan Kerajaan Mataram Kuno.
BAB II PEMBAHASAN
Sejarah Pendirian Kerajaan Mataram Kuno
Pada abad ke-8 di pedalaman Jawa Tengah berdiri Kerajaan Mataram Hindu. Pendirinya adalah Raja Sanjaya. Munculnya Kerajaan Mataram diterangkan dalam Carita Parahyangan. Kisahnya adalah dahulu ada sebuah kerajaan di Jawa Barat benama Galuh. Rajanya bernama Sanna (Sena). Suatu ketika, ia diserang oleh saudaranya yang menghendaki takhta. Raja Sanna meninggal dalam peristiwa tersebut, sementara saudara perempuannya, Sannaha, bersama keluarga raja yang lainnya berhasil melarikan diri ke lereng Gunung Merapi. Anak Sannaha, Sanjaya, di kemudian hari mendirikan Kerajaan Mataram dengan ibu kota Medang ri Poh Pitu. Tepatnya pada tahun 717 M.Kerajaan Mataram Kuno merupakan kerajaan yang berdiri pada tahun 732 Masehi. Kerajaan ini berdiri di desa Canggal (sebelah barat Magelang). Pada saat itu didirikan sebuah Lingga (lambang Siwa) diatas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja yang didirikan oleh Raja Sanjaya. Daerah ini letaknya di sebuah Pulau Mulia, Jawadwipa, dimana daerah ini merupakan daerah yang kaya raya akan hasil bumi terutama padi dan emas sehingga di masa selanjutnya kerajaan ini banyak melakukan hubungan dagang dengan daerah-daerah lain.
Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan intinya yang sering disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan dan gunung, seperti Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi-Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. Daerah ini juga dialiri oleh banyak sungai, seperti Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo, dan Sungai Bengawan Solo. Itulah sebabnya daerah ini sangat subur.
Terdapat dua sumber utama yang menunjukan berdirinya Kerajaan Mataram Kuno, yaitu berbentuk prasasti dan candi-candi yang dapat kita temui sampai sekarang ini. Adapun untuk prasasti, Kerajaan Mataram Kuno meninggalkan beberapa prasasti diantaranya :
- Prasasti Canggal, ditemukan di halaman Candi Guning Wukir di desa Canggal berangka tahun 732 Masehi. Prasasti Canggal menggunakan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta yang isinya menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya dan disamping itu juga diceritakan bahwa yang menjadi raja sebelumnya adalah Sanna yang digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha (saudara perempuan Sanna).
- Prasasti Kalasan, ditemukan di desa Kalasan Yogyakarta berangka tahun 778 M, ditulis dalam huru Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta. Isinya menceritakan pendirian bangunan suci untuk Dewi Tara dan biara untuk pendeta oleh Raja Pangkaran atas permintaan keluarga Syaelendra dan Panangkaran juga menghadiahkan desa Kalasan untuk Sanggha (umat Budha)
- Prasasti Mantyasih, ditemukan di Mantyasih Kedu, Jawa Tengah, berangka 907 M yang menggunakan bahasa Jawa KUno. Isi dari prasasti tersebut adalah daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Rakai Watukurai Dyah Balitung yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Raikai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi dan Rakai Watuhumalang.
- Prasasti Klurak, ditemukan di desa Prambanan berangka 782 M. ditulis dalam huruf Pranagari dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan permbuatan Arca Manjusri oleh Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya.
Daftar Raja Kerajaan Mataram Kuno
Selama berdiri, Kerajaan Mataram Kuno pernah dipimpin oleh raja-raja dinataranya sebagai berikut:- Sanjaya, pendiri Kerajaan Mataram Kuno.
- Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Sailendra
- Rakai Panunggalan alias Dharanindra.
- Rakai Warak alias Samaragrawira.
- Rakai Garung alias Samaratungga.
- Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya.
- Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala.
- Rakai Watuhumalang.
- Rakai Watukura Dyah Balitung.
- Mpu Daksa.
- Rakai Layang Dyah Tulodong.
- Rakai Sumba Dyah Wawa.
- Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur.
- Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya.
- Makuthawangsawardhana.
- Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Mataram Kuno berakhir
Kemudian setelah Rakai Panunggalan meninggal, beliau digantikan oleh Rakai Warak. Pada zaman pemerintahan Rakai Warak, ia lebih mengutamakan agama Buddha dan Hindu sehingga pada saat itu banyak masyarakat yang mengenal agama tersebut. Setelah Rakai Warak meninggal kemudian digantikan oleh Rakai Garung. Pada masa pemerintahan Rakai garung pembangunan kompleks candi dilanjutkan di Jawa Tengah bagian utara terutama di sekitar pegunungan Dieng. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya kompleks bangunan candi Hindu di dataran tinggi Dieng, seperti candi Semar, candi Srikandi, candi Punta dewa, candi Arjuna dan candi Sembadra. Selain itu di bangun pula kompleks candi Gedong Sanga yang terletak di sebelah kota Semarang sekarang.
Setelah Rakai Garung meninggal ia digantikan oleh Rakai Pikatan. Berkat kecakapan dan keuletan Rakai Pikatan, semangat kebudayaan Hindu dapat dihidupkan kembali. Kekuasaannya pun bertambah luas meliputi seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur serta ia pun memulai pembangunan candi Hindu yang lebih besar dan indah yaitu candi Prambanan (Candi Lara Jonggrang) di desa Prambanan. Setelah Raja Pikatan wafat ia digantikan oleh Rakai Kayuwangi. Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi Kerajaan banyak menghadapi masalah dan berbagai persoalan yang rumit sehingga timbullah benih perpecahan di antara keluarga kerajaan. Selain itu zaman keemasan Mataram Kuno mulai memudar serta banyak terjadi perang saudara.
Saat Rakai Kayuwangi meninggal ia digantikan oleh Rakai Watuhumalang. Rakai Watuhumalang berhasil melanjutkan pembangunan Candi Prambanan. Kemudian setelah Rakai Watuhumalang meninggal ia digatikan oleh Rakai Watukura Dyah Balitung. Pada masa pemerintahan Rakai Dyah Balitung dikenal 3 jabatan penting, yaitu rakryan i hino (pejabat tinggi sesudah raja), rarkyan i halu dan rarkyan i sirikan. Ketiganya merupakan tritunggal. Dyah Balitung memerintah sampai tahun 910 M dan meninggalkan banyak prasasti (20 buah). Ada prasasti yang menyebutkan bahwa Raja Balitung pernah menyerang Bantan (Bali). Setelah Rakai Watukura Dyah Balitung wafat ia digantikan oleh Daksa dengan gelar Sri Maharaja Sri Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya. Sebelumnya ia menjabat sebagai rakryan i hino. Ia memerintah dari tahun 913-919 M. Pada masa pemerintahan Raja Daksa inilah pembangunan Candi Prambanan berhasil diselesaikan. Pada tahun 919 M Daksa digantikan oleh Tulodhong yang bergelar Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodhong Sri Sajanasanmattanuragatunggadewa. Masa pemerintahan Tulodhong sangat singkat dan tidak terjadi hal-hal yang menonjol.
Pengganti Tulodhong adalah Wawa. Ia naik tahta pada tahun 924 M dengan gelar Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wajayalokanamottungga. Sri Baginda dibantu oleh Empu Sindok Sri Isanawikrama yang berkedudukan sebagai Mahamantri i hino.
Bidang Politik
Silsilah raja yang pernah memerintah Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur, antara lain sebagai berikut.
1. Empu Sindok (929–947)
Setelah naik takhta pada tahun 929, Empu Sindok bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmattunggadewa. Dia naik takhta karena menikahi putri Wawa. Namun, Empu Sindok menganggap dirinya sebagai pembentuk dinasti baru, yaitu Dinasti Isana.
Istilah Isyana berasal dari nama Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa, yaitu gelar Mpu Sindok setelah menjadi raja Medang (929–947). Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Berdasarkan agama yang dianut, Mpu Sindok diduga merupakan keturunan Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang periode Jawa Tengah. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa Mpu Sindok adalah cucuMpu Daksa yang memerintah sekitar tahun 910–an. Mpu Daksa sendiri memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa (kalender Sanjaya) untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli Sanjaya. Dengan demikian, Mpu Daksa dan Mpu Sindok dapat disebut sebagai anggota Wangsa Sanjaya.
Kerajaan Medang di Jawa Tengah hancur akibat letusan Gunung Merapi menurut teori van Bammelen. Mpu Sindok kemudian memindahkan ibu kota Medang dari Mataram menuju Tamwlang. Beberapa tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh. Kedua istana baru itu terletak di daerah Jombang sekarang. Mpu Sindok tidak hanya memindahkan istana Medang ke timur, namun ia juga dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama Wangsa Isyana.Kerajaan yang baru tetap bernama Mataram, sebagai mana ternyata dari prasasti Paradah tahun 865 Saka (943M) dan prasasti Anjukladang tahun 859 Saka (937M). Kedudukan Mpu Sindok dalam kelurga raja-raja yang memerintah di Mataram itu memang di permasalahkan. Seperti yang telah dikemukakan, Mpu sindok pernah memangku jabatan Rakai Halu dan Rakryan Mahapatih i Hino, yang menunjukkan bahwa ia pewaris takhta kerajaan yang sah, siapapun ayahnya. Jadi ia tidak perlu kawin dengan putri mahkota untuk dapat menjadi raja.
Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M. Dari masa pemerintahannya didapatkan sekitar 20 prasasti yang sebagian besar ditulis di atas batu. Sebagian prasasti Pu Sindok berkenaan dengan penetapan sima bagi suatu bangunan suci, kebanyakan atas permintaan pejabat atau rakyat suatu desa. Yang ditetapkan menjadi sima atas perintah raja sendiri hanyalah Desa Linggasutan dan sawah kakatikan di Anjukladang. Dapat dilihat bahwa memang Tidak ada peristiwa di bidang politik yang terdapat dalam prasasti Pu Sindok. Kalaupun ada, hanya samar-samar saja dan terdapat dalam prasasti tembaga yang tinulad. Rupa-rupanya perpindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur tidak perlu desertai dengan penaklukan-penaklukan. Hal ini dapat dipahami karena sejak Rakai Watukara dyah Balitung kekuasaan kerajaan Mataram telah meluas sampai ke Jawa Timur. Bahwa mungkin ada juga sana-sini raja bawahan atau penguasa setempat yang tidak mau tunduk, dan perlu dikuasai dengan kekutan senjata, bukanlah hal yang mustahil. Adanya prasasti Waharu dan prasasti Sumbat memang membayangkan adanya kemungkinan tersebut. Bahwa pusat kerajaan Pu Sindok juga mengalami perpindahan mungkin juga berhubungan dengan adanya serangan musuh. Seperti telah disebutkan, ibu kota kerajaan yang pertama terletak di Tamwlang. Akan tetapi, di dalam prasasti Paradah dan Prasasti Anjukladang ibu kota kerajaan disebutkan ada di Watugaluh..
Dari sekian banyak bangunan suci yang disebutkan di dalam prasasti-prasasti Pu Sindok, belum ada satu pun yang dapat dilokalisasikan dengan tepat. Prasasti Anjukladang menyebutkan adanya Candi Lor dan sekarang didekat Berbek, Kabupaten nganjuk ada reruntuhan candi. Sebenarnya diharapkan adanya suatu peninggalan arkeologi yang dapan diidentifikasikan dengan candi kerajaan, sebagai pengganti percandian Loro Jonggrang, sebagai lambang Mahameru untuk pusatkerajaan yang baru di Jawa Timur. Akan tetapi hingga kini belum ada peninggalan candi di Jawa Timur yang dapat dianggap sebagai candi peninggalan kerajaan.
Silsilah Wangsa Isyana dijumpai dalam prasasti Pucangan tahun 1041 atas nama Airlangga, seorang raja yang mengaku keturunan Mpu Sindok. Prasasti inilah yang melahirkan pendapat tentang munculnya sebuah dinasti baru sebagai kelanjutan Wangsa Sanjaya.Cikal bakal Wangsa Isyana tentu saja ditempati oleh Mpu Sindok alias Maharaja Isyana. Ia memiliki putri bernama Sri Isyanatunggawijaya yang menikah dengan pangeran Bali bernama Sri Lokapala. Dari perkawinan itu lahir Makutawangsawardhana, yang kemudian memiliki putri bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga.Ayah dari Airlangga adalah Udayana Warmadewa raja Bali. Dalam beberapa prasasti, nama Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni disebut lebih dulu sebelum suaminya. Hal ini menunjukkan seolah-olah kedudukan Mahendradatta lebih tinggi daripada Udayana. Mungkin saat itu Bali merupakan negeri bawahan Jawa. Penaklukan Bali diperkirakan terjadi pada zaman pemerintahan Dyah Balitung (sekitar tahun 890-900-an).
Prasasti Pucangan juga menyebutkan seorang raja bernama Dharmawangsa Teguh, mertua sekaligus kerabat Airlangga. Para sejarawan cenderung sepakat bahwa Dharmawangsa adalah putra Makutawangsawardhana. Pendapat ini diperkuat oleh prasasti Sirah Keting yang menyebut Dharmawangsa dengan nama Sri Maharaja Isyana Dharmawangsa.Dengan demikian, Dharmawangsa dapat dipastikan sebagai keturunan Mpu Sindok, meskipun prasasti Pucangan tidak menyebutnya dengan pasti.
Dari sumber kitab Warata Pura, kitab ini merupakan salinan kedalam bahasa jawa kuno dari kitab senama dalam bahasa sansekerta. Angka tahun dituliskannya tahun kitab itu yaitu 918 saka ( 916 M ) dan di kitab juga disebutkan nama raja yang memerintah saat itu yakni Sri Darmawangsa Teguh Anantawikrama. Selain ditemukannya kitab juga ditemukan sebuah prasasti, yakni adalah prasasti Jayawarsa Dikwijaya Sastra Prabudalam kitab itu disebutkan bahwa raja Sri Jayawarsa Digwijaya Sastra Prabu menyebutkan bahwa dirinya anak cucu sang Apanji Wijayamertawerdana, yang kemudian bergelar Abiseka sebagai Raja Sri Istana Darmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa.Dan yang terakhir sebuah candi Dharma Parhyangan di Wetan, candi ini merupakan candi untuk mengenang kematian Darmawangsa Teguh.
Setelah pemerintahan Pu Sindok ada masa gelap sampai masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga. Dalam masa 70 tahun itu tercatat hanya tiga prasasti yang berangka tahun yang ditentukan, yaitu prasasti Hara-Hara tahun 888 Saka (966 M) prasasti Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992 M) dan prasasti ucem tahun 934 Saka (1012-1013 M). prasasti hara-hara berisi keterangan tentang pemberian tanah sima oleh Pu Mano, yang telah diwarisinya dari nenek moyangnya, yang terletak di Desa Hara-hara, di sebelah selatan perumahannya, kepada Mpungku di Susuk Pager dan Mpungku sebagai tempat menirikan bangunan suci (kuti). Sebagai sumber pembiayaan pemeliharaan dan biaya upacara di dalam bangunan suci tersebut, ditebuslah sawah yang terletak di sebelah selatan seluas 3tampah yang telah digadai oleh pungku Susuk Pager dan Mpungku di Nairanja.
Prasasti Kawambang Kulwan boleh dikatan belum diterbitkan sebagaimana mestinya.Apa yang terdapat dalam transkipi Brandes sebagian kecil permulaannya saja, itu pun hanya dibaca satu sisi, sedang prasasti ini ditulis melingkar. Yang dapat ditangkap ialah bahwa prasasti ini memuat anugerah raja kepada Samgat Kanuruhan pu Burung bahwwa prasasti sima di Desa Kawambang Kulwan, agar Sang Pamgat Kanuruhan mendirikan suatu bangunan suci pemujaan dewa (an padamla parhyangan). Melihat angka tahunnya, prsasti ini berasa dari masa pemerintahan Dharmangsa Teguh. Sayang nama rajanya belum terbaca; yang ada ialah nama pejabat tinggi yang menerima hadiah, yaitu Pu Dharmmangsanggaramawikranta.
Suatu peristiwa unik yang diperingati dengan prasasti yang dipahat pada batu alam yang besar ialah perbaikan jalan oleh Samgat Lucem pu Ghek (atau Lok), dan penanaman pohon beringin oleh Sang Apanji Tepet. Rupa-rupanya pohon itu ditanam di tempat permulaan atau akhir jalan yang diperbaiki itu.Peristiwa ini diperingati dengan prasasti ucem yang ditulis dengan huruf kuadrat yang besar-besar.Raja Sri Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa, yang berdasarkan kitab Wirataparwa, memerintah dalam dasawarsa terakhir abad X M, dan mungkin sampai tahun 1017 M. Melihat gelarnya yang mengandung unsur Isana ia jelas keturunan Pu Sindok secara langsung. Kemungkinan besar ia anak Makutawangsa-warddhana, jadi saudara Mahendradatta Gunapriya-dharmmapatni. Ia menggantikan ayahnya duduk diatas takhta kerjaan Mataram, sedang Mahendradatta kawin dengan Udayana, yang ternyata seorang raja dari Wangsa Warmmadewa di Bali. Dapat dipahami sepenuhnya mengapa Airlangga menyebut dirinya masih anggota keluarga dari raja Dharmmawangsa Teguh.
Dharmawangsa Teguh memerintah dalam dasawarsa terakhir abad 10 M dan mungkin sampai 1017 M. Dharmawangsa Teguh memiliki gelar Sri Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa (menurut prasati raja Jayawarsa Digwijaya Sastraprabu dan kitab Wirataparwa). Melihat gelar yang disandang mengandung unsur Isana, jelas bahwa Dharmawangsa Teguh keturunan dari Empu Sendok secara langsung (Prasati Pacangan). Kemungkinan besar Dharmawangsa Teguh anak dari Makutawangsawardana, dia juga merupakan saudara dari Mahendradatta Gunapriya Darmapatni. Dharmawangsa Teguh menggantikan ayahnya dengan duduk di atas tahta Kerajaan Mataram, sedangkan Mahendradatta kawin dengan Udayana yang ternyata seorang putri raja dari wangsa Warmmadewa di Bali. Jadi pada waktu itu Bali sudah ada di bawah pengaruh jawa, itu terbukti dengan ditemukannya prasasti-prasasti di Bali yang menggunakan bahasa Jawa kuno.
Hubungan Jawa dan Sriwijaya (Sumatra) pada saat itu kurang baik. Menurut LC Damais pada masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh Jawa pernah menyerbu Sriwijaya untuk menghancurkan hubungan Sriwijaya dan Cina, tetapi serangan dari Dharmawangsa Teguh tidak berpengaruh pada kedaulatan Sriwijaya, karena sejak tahun 1003 M datang lagi utusan Sriwijaya ke Cina dan sebaliknya untuk saling memberikan upeti. Hubungan itu berlanjut sampai 1178 M. Pemerintahan Dharmawangsa Teguh juga melakukan ekspedisi ke Sumatra. Ini terbukti adanya prasasti batu yaitu bernama Prasasti Hujung Langit ( Bawang ) di daerah Sumatra Selatan tahun 919 Saka ( 997 M ) yang berbahasa Jawa kuno.
Dharmawangsa Teguh meletakkan pusat kerajaannya untuk yang pertama kali adalah di Madiun, kemudian Dharmawangsa Teguh memindahkan pusat kerajaannya di daerah Jombang. Setelah itu pindah lagi di daerah Maospati. Perpindahan pusat kerajaan pada masa Dharmawangsa Teguh tidak jelas sumber dan penjelasannya.Dharmawangsa Teguh yang begitu berambisi untuk meluaskan kekuasaanya sampai keluar pulau Jawa ternyata mengalami keruntuhan ditangan raja bawahannya yaitu raja Wurawari (daerah Banjumas). Raja Wurawari sangat dendam dengan Dharmawangsa Teguh karena ambisinya untuk mendampingi putri Dharmawangsa Teguh tidak tercapai, karena Dharmawangsa Teguh menikahkan putrinya dengan Airlangga. Akhirnya kerajaan yang dipimpin Dharmawangsa Teguh hancur menjadi abu karena mendapat serangan yang tidak terduga dari raja Wurawari dan seluruh daerah yang pernah ditaklukan oleh Airlangga jatuh ketangan raja Wurawari. Dengan hancurnya pemerinthan Dharmawangsa teguh raja Wurawari cukup puas melampiaskan sakit hatinya karena tidak berhasil menjadi menantu Dharmawangsa Teguh.
Seperti yang dapat dilihat dari prasasti Pucangan Dharmawangsa dicandikan di Wwatan, sekarang masih ada di desa Wotan di daerah kecamatan Maospati. Dharmawangsa dalam masa pemerintahaannya menitik beratkan pada pola politik luar negrinya. Ketika Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa sekitar tahun 992 yang hasilnya Sriwijaya kalah, akibatnya Sriwijaya mengadakan pembalasan atas serangan itu terhadap Dharmawangsa pada tahun 1006 M dibantu oleh raja Wurawari, sehingga mengakibatkan kehancuran kerjaan Dharmawangsa atau Pralaya.
Istilah Isyana berasal dari nama Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa, yaitu gelar Mpu Sindok setelah menjadi raja Medang (929–947). Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Berdasarkan agama yang dianut, Mpu Sindok diduga merupakan keturunan Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang periode Jawa Tengah. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa Mpu Sindok adalah cucuMpu Daksa yang memerintah sekitar tahun 910–an. Mpu Daksa sendiri memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa (kalender Sanjaya) untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli Sanjaya. Dengan demikian, Mpu Daksa dan Mpu Sindok dapat disebut sebagai anggota Wangsa Sanjaya.
Kerajaan Medang di Jawa Tengah hancur akibat letusan Gunung Merapi menurut teori van Bammelen. Mpu Sindok kemudian memindahkan ibu kota Medang dari Mataram menuju Tamwlang. Beberapa tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh. Kedua istana baru itu terletak di daerah Jombang sekarang. Mpu Sindok tidak hanya memindahkan istana Medang ke timur, namun ia juga dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama Wangsa Isyana.Kerajaan yang baru tetap bernama Mataram, sebagai mana ternyata dari prasasti Paradah tahun 865 Saka (943M) dan prasasti Anjukladang tahun 859 Saka (937M). Kedudukan Mpu Sindok dalam kelurga raja-raja yang memerintah di Mataram itu memang di permasalahkan. Seperti yang telah dikemukakan, Mpu sindok pernah memangku jabatan Rakai Halu dan Rakryan Mahapatih i Hino, yang menunjukkan bahwa ia pewaris takhta kerajaan yang sah, siapapun ayahnya. Jadi ia tidak perlu kawin dengan putri mahkota untuk dapat menjadi raja.
Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M. Dari masa pemerintahannya didapatkan sekitar 20 prasasti yang sebagian besar ditulis di atas batu. Sebagian prasasti Pu Sindok berkenaan dengan penetapan sima bagi suatu bangunan suci, kebanyakan atas permintaan pejabat atau rakyat suatu desa. Yang ditetapkan menjadi sima atas perintah raja sendiri hanyalah Desa Linggasutan dan sawah kakatikan di Anjukladang. Dapat dilihat bahwa memang Tidak ada peristiwa di bidang politik yang terdapat dalam prasasti Pu Sindok. Kalaupun ada, hanya samar-samar saja dan terdapat dalam prasasti tembaga yang tinulad. Rupa-rupanya perpindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur tidak perlu desertai dengan penaklukan-penaklukan. Hal ini dapat dipahami karena sejak Rakai Watukara dyah Balitung kekuasaan kerajaan Mataram telah meluas sampai ke Jawa Timur. Bahwa mungkin ada juga sana-sini raja bawahan atau penguasa setempat yang tidak mau tunduk, dan perlu dikuasai dengan kekutan senjata, bukanlah hal yang mustahil. Adanya prasasti Waharu dan prasasti Sumbat memang membayangkan adanya kemungkinan tersebut. Bahwa pusat kerajaan Pu Sindok juga mengalami perpindahan mungkin juga berhubungan dengan adanya serangan musuh. Seperti telah disebutkan, ibu kota kerajaan yang pertama terletak di Tamwlang. Akan tetapi, di dalam prasasti Paradah dan Prasasti Anjukladang ibu kota kerajaan disebutkan ada di Watugaluh..
Dari sekian banyak bangunan suci yang disebutkan di dalam prasasti-prasasti Pu Sindok, belum ada satu pun yang dapat dilokalisasikan dengan tepat. Prasasti Anjukladang menyebutkan adanya Candi Lor dan sekarang didekat Berbek, Kabupaten nganjuk ada reruntuhan candi. Sebenarnya diharapkan adanya suatu peninggalan arkeologi yang dapan diidentifikasikan dengan candi kerajaan, sebagai pengganti percandian Loro Jonggrang, sebagai lambang Mahameru untuk pusatkerajaan yang baru di Jawa Timur. Akan tetapi hingga kini belum ada peninggalan candi di Jawa Timur yang dapat dianggap sebagai candi peninggalan kerajaan.
Silsilah Wangsa Isyana dijumpai dalam prasasti Pucangan tahun 1041 atas nama Airlangga, seorang raja yang mengaku keturunan Mpu Sindok. Prasasti inilah yang melahirkan pendapat tentang munculnya sebuah dinasti baru sebagai kelanjutan Wangsa Sanjaya.Cikal bakal Wangsa Isyana tentu saja ditempati oleh Mpu Sindok alias Maharaja Isyana. Ia memiliki putri bernama Sri Isyanatunggawijaya yang menikah dengan pangeran Bali bernama Sri Lokapala. Dari perkawinan itu lahir Makutawangsawardhana, yang kemudian memiliki putri bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga.Ayah dari Airlangga adalah Udayana Warmadewa raja Bali. Dalam beberapa prasasti, nama Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni disebut lebih dulu sebelum suaminya. Hal ini menunjukkan seolah-olah kedudukan Mahendradatta lebih tinggi daripada Udayana. Mungkin saat itu Bali merupakan negeri bawahan Jawa. Penaklukan Bali diperkirakan terjadi pada zaman pemerintahan Dyah Balitung (sekitar tahun 890-900-an).
Prasasti Pucangan juga menyebutkan seorang raja bernama Dharmawangsa Teguh, mertua sekaligus kerabat Airlangga. Para sejarawan cenderung sepakat bahwa Dharmawangsa adalah putra Makutawangsawardhana. Pendapat ini diperkuat oleh prasasti Sirah Keting yang menyebut Dharmawangsa dengan nama Sri Maharaja Isyana Dharmawangsa.Dengan demikian, Dharmawangsa dapat dipastikan sebagai keturunan Mpu Sindok, meskipun prasasti Pucangan tidak menyebutnya dengan pasti.
Dari sumber kitab Warata Pura, kitab ini merupakan salinan kedalam bahasa jawa kuno dari kitab senama dalam bahasa sansekerta. Angka tahun dituliskannya tahun kitab itu yaitu 918 saka ( 916 M ) dan di kitab juga disebutkan nama raja yang memerintah saat itu yakni Sri Darmawangsa Teguh Anantawikrama. Selain ditemukannya kitab juga ditemukan sebuah prasasti, yakni adalah prasasti Jayawarsa Dikwijaya Sastra Prabudalam kitab itu disebutkan bahwa raja Sri Jayawarsa Digwijaya Sastra Prabu menyebutkan bahwa dirinya anak cucu sang Apanji Wijayamertawerdana, yang kemudian bergelar Abiseka sebagai Raja Sri Istana Darmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa.Dan yang terakhir sebuah candi Dharma Parhyangan di Wetan, candi ini merupakan candi untuk mengenang kematian Darmawangsa Teguh.
Setelah pemerintahan Pu Sindok ada masa gelap sampai masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga. Dalam masa 70 tahun itu tercatat hanya tiga prasasti yang berangka tahun yang ditentukan, yaitu prasasti Hara-Hara tahun 888 Saka (966 M) prasasti Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992 M) dan prasasti ucem tahun 934 Saka (1012-1013 M). prasasti hara-hara berisi keterangan tentang pemberian tanah sima oleh Pu Mano, yang telah diwarisinya dari nenek moyangnya, yang terletak di Desa Hara-hara, di sebelah selatan perumahannya, kepada Mpungku di Susuk Pager dan Mpungku sebagai tempat menirikan bangunan suci (kuti). Sebagai sumber pembiayaan pemeliharaan dan biaya upacara di dalam bangunan suci tersebut, ditebuslah sawah yang terletak di sebelah selatan seluas 3tampah yang telah digadai oleh pungku Susuk Pager dan Mpungku di Nairanja.
Prasasti Kawambang Kulwan boleh dikatan belum diterbitkan sebagaimana mestinya.Apa yang terdapat dalam transkipi Brandes sebagian kecil permulaannya saja, itu pun hanya dibaca satu sisi, sedang prasasti ini ditulis melingkar. Yang dapat ditangkap ialah bahwa prasasti ini memuat anugerah raja kepada Samgat Kanuruhan pu Burung bahwwa prasasti sima di Desa Kawambang Kulwan, agar Sang Pamgat Kanuruhan mendirikan suatu bangunan suci pemujaan dewa (an padamla parhyangan). Melihat angka tahunnya, prsasti ini berasa dari masa pemerintahan Dharmangsa Teguh. Sayang nama rajanya belum terbaca; yang ada ialah nama pejabat tinggi yang menerima hadiah, yaitu Pu Dharmmangsanggaramawikranta.
Suatu peristiwa unik yang diperingati dengan prasasti yang dipahat pada batu alam yang besar ialah perbaikan jalan oleh Samgat Lucem pu Ghek (atau Lok), dan penanaman pohon beringin oleh Sang Apanji Tepet. Rupa-rupanya pohon itu ditanam di tempat permulaan atau akhir jalan yang diperbaiki itu.Peristiwa ini diperingati dengan prasasti ucem yang ditulis dengan huruf kuadrat yang besar-besar.Raja Sri Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa, yang berdasarkan kitab Wirataparwa, memerintah dalam dasawarsa terakhir abad X M, dan mungkin sampai tahun 1017 M. Melihat gelarnya yang mengandung unsur Isana ia jelas keturunan Pu Sindok secara langsung. Kemungkinan besar ia anak Makutawangsa-warddhana, jadi saudara Mahendradatta Gunapriya-dharmmapatni. Ia menggantikan ayahnya duduk diatas takhta kerjaan Mataram, sedang Mahendradatta kawin dengan Udayana, yang ternyata seorang raja dari Wangsa Warmmadewa di Bali. Dapat dipahami sepenuhnya mengapa Airlangga menyebut dirinya masih anggota keluarga dari raja Dharmmawangsa Teguh.
Dharmawangsa Teguh memerintah dalam dasawarsa terakhir abad 10 M dan mungkin sampai 1017 M. Dharmawangsa Teguh memiliki gelar Sri Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa (menurut prasati raja Jayawarsa Digwijaya Sastraprabu dan kitab Wirataparwa). Melihat gelar yang disandang mengandung unsur Isana, jelas bahwa Dharmawangsa Teguh keturunan dari Empu Sendok secara langsung (Prasati Pacangan). Kemungkinan besar Dharmawangsa Teguh anak dari Makutawangsawardana, dia juga merupakan saudara dari Mahendradatta Gunapriya Darmapatni. Dharmawangsa Teguh menggantikan ayahnya dengan duduk di atas tahta Kerajaan Mataram, sedangkan Mahendradatta kawin dengan Udayana yang ternyata seorang putri raja dari wangsa Warmmadewa di Bali. Jadi pada waktu itu Bali sudah ada di bawah pengaruh jawa, itu terbukti dengan ditemukannya prasasti-prasasti di Bali yang menggunakan bahasa Jawa kuno.
Hubungan Jawa dan Sriwijaya (Sumatra) pada saat itu kurang baik. Menurut LC Damais pada masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh Jawa pernah menyerbu Sriwijaya untuk menghancurkan hubungan Sriwijaya dan Cina, tetapi serangan dari Dharmawangsa Teguh tidak berpengaruh pada kedaulatan Sriwijaya, karena sejak tahun 1003 M datang lagi utusan Sriwijaya ke Cina dan sebaliknya untuk saling memberikan upeti. Hubungan itu berlanjut sampai 1178 M. Pemerintahan Dharmawangsa Teguh juga melakukan ekspedisi ke Sumatra. Ini terbukti adanya prasasti batu yaitu bernama Prasasti Hujung Langit ( Bawang ) di daerah Sumatra Selatan tahun 919 Saka ( 997 M ) yang berbahasa Jawa kuno.
Dharmawangsa Teguh meletakkan pusat kerajaannya untuk yang pertama kali adalah di Madiun, kemudian Dharmawangsa Teguh memindahkan pusat kerajaannya di daerah Jombang. Setelah itu pindah lagi di daerah Maospati. Perpindahan pusat kerajaan pada masa Dharmawangsa Teguh tidak jelas sumber dan penjelasannya.Dharmawangsa Teguh yang begitu berambisi untuk meluaskan kekuasaanya sampai keluar pulau Jawa ternyata mengalami keruntuhan ditangan raja bawahannya yaitu raja Wurawari (daerah Banjumas). Raja Wurawari sangat dendam dengan Dharmawangsa Teguh karena ambisinya untuk mendampingi putri Dharmawangsa Teguh tidak tercapai, karena Dharmawangsa Teguh menikahkan putrinya dengan Airlangga. Akhirnya kerajaan yang dipimpin Dharmawangsa Teguh hancur menjadi abu karena mendapat serangan yang tidak terduga dari raja Wurawari dan seluruh daerah yang pernah ditaklukan oleh Airlangga jatuh ketangan raja Wurawari. Dengan hancurnya pemerinthan Dharmawangsa teguh raja Wurawari cukup puas melampiaskan sakit hatinya karena tidak berhasil menjadi menantu Dharmawangsa Teguh.
Seperti yang dapat dilihat dari prasasti Pucangan Dharmawangsa dicandikan di Wwatan, sekarang masih ada di desa Wotan di daerah kecamatan Maospati. Dharmawangsa dalam masa pemerintahaannya menitik beratkan pada pola politik luar negrinya. Ketika Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa sekitar tahun 992 yang hasilnya Sriwijaya kalah, akibatnya Sriwijaya mengadakan pembalasan atas serangan itu terhadap Dharmawangsa pada tahun 1006 M dibantu oleh raja Wurawari, sehingga mengakibatkan kehancuran kerjaan Dharmawangsa atau Pralaya.
Empu Sindok merupakan peletak batu pertama berdirinya kerajaan besar di Jawa Timur. Empu Sindok berpengalaman mengatur kerajaan sehingga dapat menjalankan roda pemerintahan dengan lancar, aman, dan tertib. Dengan demikian, perekonomian rakyatnya pun makin baik.
Empu Sindok banyak meninggalkan prasasti. Bahkan, ia pun merestui usaha menghimpun kitab suci agama Buddha Tantrayana. Ini membuktikan betapa besar toleransinya terhadap agama lain dan perhatiannya terhadap bidang sastra. Kitab tersebut berjudul Sang Hyang Kamahayanikan yang berisi ajaran dan tata cara beribadah agama Buddha.
2. Sri Isanatunggawijaya
Setelah Empu Sindok wafat, tampuk pemerintahan dipegang oleh putrinya, Sri Isanatunggawijaya yang menikah dengan Raja Lokapala. Perkawinan tersebut melahirkan Makutawangsawardhana yang nantinya menggantikan ibunya memerintah di Watugaluh atau di Tomwlang.
Masa pemerintahan dan apa yang diperbuat oleh kedua raja tersebut tidak banyak yang kita ketahui. Makutawangsawardhana mempunyai putri cantik, yaitu Mahendradatta (Gunapriyadharmapatni). Putri itu kemudian menikah dengan Raja Udayana dari keluarga Warmadewa yang memerintah di Bali.
3. Dharmawangsa (991–1016)
Pengganti Raja Makutawangsawardhana ialah Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama-tunggadewa. Siapa sebenarnya Dharmawangsa itu sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Ada yang menduga bahwasanya Dharmawangsa adalah kakak dari Mahendradatta putra Makutawangsawardhana.
Nama Dharmawangsa dikenal dari kitab Wirataparwa yang disadur ke dalam bahasa Jawa Kuno atas perintah Dharmawangsa. Kitab Wirataparwa merupakan bagian dari kitab Mahabharata yang terdiri atas 18 bagian. Isi pokok kitab itu adalah kisah perang besar antarkeluarga Bharata, yaitu Pandawa dan Kurawa.
Kitab Mahabharata digubah oleh Pendeta Wyasa Kresna Dwipayana. Di samping itu, pada tahun 991 disusun kitab hukum Siwasasana. Dharmawangsa adalah seorang raja yang cakap dan punya cita-cita besar. Ia ingin menguasai seluruh Jawa dan pulau-pulau di sekitarnya. Dharmawangsa juga ingin mengembangkan perekonomiannya melalui perdagangan laut.
Untuk mewujudkan cita-citanya, Dharmawangsa segera membangun armada laut yang kuat. Pada masa itu pada saat bersamaan di Sumatra telah berdiri Kerajaan Sriwijaya yang telah berkembang besar dan menguasai jalur perdagangan Selat Malaka, Semenanjung Malaya, Selat Sunda, dan pesisir barat Sumatra.
Hal itu dianggap sebagai saingan berat dan penghalang cita-cita Dharmawangsa. Oleh karena itu, Sriwijaya harus dimusnahkan. Pada tahun 990 Dharmawangsa mengirimkan pasukannya untuk menyerbu Sriwijaya dan Semenanjung Malaya. Pasukan Dharmawangsa berhasil menduduki beberapa daerah pantai Sriwijaya dan memutuskan hubungan Sriwijaya dengan dunia luar.
Kejadian itu dibenarkan oleh sumber berita dari Cina (992) yang menyebutkan bahwa utusan Sriwijaya ke Cina tidak dapat kembali (berhenti di Kanton) karena Sriwijaya diduduki musuh. Sriwijaya menjadi lemah, tetapi secara diam-diam melakukan gerakan bawah tanah (subversi) ke Jawa dan menghasut adipati (raja bawahan) yang kurang loyal terhadap Dharmawangsa agar bersedia memberontak.
Usaha itu rupanya termakan juga oleh seorang adipati yang bernama Wurawari (dari daerah sekitar Banyumas sekarang). Dalam peristiwa penyerbuan ke Kerajaan Dharmawangsa itu ternyata ada tokoh penting yang berhasil lolos dari maut. Dia adalah Airlangga, putra Mahendradatta (dari Bali) yang saat itu sedang dinikahkan dengan putri Dharmawangsa. Airlangga berhasil menyelamatkan diri masuk hutan ditemani pengiringnya yang setia, Narottama.
Setelah keadaan kembali tenang, Airlangga didatangi oleh para pendeta dan brahmana. Mereka meminta Airlangga agar bersedia dinobatkan menjadi raja. Permintaan itu mula-mula ditolak dan baru pada tahun 1019 Airlangga bersedia dinobatkan menjadi raja menggantikan Dharmawangsa.
4. Pemerintahan Airlangga
Airlangga setelah naik takhta bergelar Sri Maharaja Rakai Halu Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Awalnya, Airlangga hanya merupakan raja kecil dengan daerah kekuasaan yang sangat terbatas. Raja-raja bawahan Dharmawangsa tidak mau mengakui kekuasaan Airlangga. Setelah berjuang dan berperang selama tujuh tahun, pada tahun 1035 Airlangga berhasil menyatukan kembali wilayah kerajaannya dan pusat kerajaan dipindahkan ke Kahuripan (1037).
Bidang Sosial budaya Kerajaan Mataram Kuno
Kehidupan keagamaan pada Kerajaan Mataram Kuno Jawa Timur terutama pada masa pemerintahan Airlangga pun diperhatikan. Hal itu diwujudkan, antara lain dengan mendirikan tempat pemujaan dan pertapaan, misalnya Pertapaan Pucangan di lereng Gunung Penanggungan. Terjadi pula perkembangan di bidang sastra.
Pada masa itu telah dihasilkan karya sastra dengan judul Arjuna Wiwaha yang ditulis oleh Empu Kanwa pada tahun 1035. Kitab itu berisi kisah kiasan terhadap kehidupan Raja Airlangga yang diidentifikasikan sebagai tokoh Arjuna. Agama yang berkembang pada saat itu ialah Hindu aliran Wisnu atau Waisnawa sehingga Airlangga dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu yang bertugas memelihara perdamaian dunia.
Bidang Ekonomi Kerajaan Mataram Kuno
Pada masa pemerintahan Dharmawangsa, pembangunan dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembangunan itu dilakukan dengan membuat saluran irigasi serta memperbaiki tanggul Sungai Brantas di Waringin Sapta, Pelabuhan Ujung Galuh, dan Kembang Putih di Tuban. Hal itu dimaksudkan untuk memperlancar pelayaran dan perdagangan laut dengan dunia luar, seperti India, Burma (Myanmar), dan Kampuchea.
Airlangga mempunyai beberapa orang putra. Putra sulungnya seorang putrid bernama Sri Sanggramawijaya Dharmaprasadottunggadewi. Dialah yang dicalonkan menjadi pengganti Airlangga. Akan tetapi, ia tidak bersedia dan lebih suka menjadi seorang pertapa yang kemudian terkenal dengan nama Dewi Kilisuci.
Setelah putrinya mengundurkan diri dari hal-hal duniawi, Airlangga memutuskan untuk membagi kerajaannya menjadi Jenggala dan Panjalu (Kediri). Hal itu dimaksudkan agar kelak tidak terjadi perang saudara berebut kekuasaan. Pembagian kerajaan dilakukan pada tahun 1041 oleh Empu Bharada.
Keruntuhan Kerajaan Mataram Kuno
Runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, disebabkan oleh letusan gunung Merapi yang mengeluarkan lahar. Kemudian lahar tersebut menimbun candi-candi yang didirikan oleh kerajaan, sehingga candi-candi tersebut menjadi rusak.Kedua, runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh krisis politik yang terjadi tahun 927-929 M. Ketiga, runtuhnya kerajaan dan perpindahan letak kerajaan dikarenakan pertimbangan ekonomi. Di Jawa Tengah daerahnya kurang subur, jarang terdapat sungai besar dan tidak terdapatnya pelabuhan strategis.Sementara di Jawa Timur, apalagi di pantai selatan Bali merupakan jalur yang strategis untuk perdagangan, dan dekat dengan daerah sumber penghasil komoditi perdagangan. Mpu Sindok mempunyai jabatan sebagaiRake I Hino ketika Wawa menjadi raja di Mataram, lalu pindah ke Jawa timur dan mendirikan dinasti Isyana di sana dan menjadikan Walunggaluh sebagai pusat kerajaan. Mpu Sindok yang membentuk dinasti baru, yaitu Isanawangsa berhasil membentuk Kerajaan Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yang berpusat di Jawa Tengah. Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M.Sumber sejarah yang berkenaan dengan Kerajaan Mataram di Jawa Timur antara lain prasasti Pucangan, prasasti Anjukladang dan Pradah, prasasti Limus, prasasti Sirahketing, prasasti Wurara, prasasti Semangaka, prasasti Silet, prasasti Turun Hyang, dan prasasti Gandhakuti yang berisi penyerahan kedudukan putra mahkota oleh Airlangga kepada sepupunya yaitu Samarawijaya putra Teguh Dharmawangsa.Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno
Prasasti- Prasasti Canggal ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Canggal berangka tahun 732 M dalam bentuk Candrasangkala.
- Prasasti Kalasan, ditemukan di desa Kalasan Yogyakarta berangka tahun 778 M, ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta.
- Prasasti Mantyasih ditemukan di Mantyasih Kedu, Jateng berangka tahun 907 M yang menggunakan bahasa Jawa Kuno. Isi dari prasasti tersebut adalah daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Bality yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, Rakai Watuhumalang, dan Rakai Watukura Dyah Balitung. Untuk itu prasasti Mantyasih/Kedu ini juga disebut dengan prasasti Belitung
- Prasasti Klurak ditemukan di desa Prambanan berangka tahun 782 M ditulis dalam huruf Pranagari dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan pembuatan arca Manjusri oleh Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya.
- Candi Gatotkaca. Candi Gatotkaca adalah salah satu candi Hindu yang berada di Dataran Tinggi Dieng, di wilayah Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Candi ini terletak di sebelah barat Kompleks Percandian Arjuna, di tepi jalan ke arah Candi Bima, di seberang Museum Dieng Kailasa. Nama Gatotkaca sendiri diberikan oleh penduduk dengan mengambil nama tokoh wayang dari cerita Mahabarata.
- Candi Bima. Berada di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, [1] candi ini terletak paling selatan di kompleks Percandian Dieng. Pintu masuk berada di sisi timur. Candi ini cukup unik dibanding dengan candi-candi lain, baik di Dieng maupun di Indonesia pada umumnya, karena kemiripan arsitekturnya dengan beberapa candi di India. Bagian atapnya mirip dengan shikara dan berbentuk seperti mangkuk yang ditangkupkan. [2] Pada bagian atap terdapat relung dengan relief kepala yang disebut dengan kudu.
- Candi Dwarawati. Bentuk Candi Dwarawati mirip dengan Candi Gatutkaca, yaitu berdenah dasar segi empat dengan penampil di keempat sisinya. Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 50 cm. Tangga dan pintu masuk, yang terletak di sisi barat, saat ini dalam keadaan polos tanpa pahatan.
- Candi Arjuna. Candi ini mirip dengan candi-candi di komples Gedong Sanga. Berdenah dasar persegi dengan luas sekitar ukuran sekitar 4 m2. Tubuh candi berdiri diatas batur setinggi sekitar 1 m. Di sisi barat terdapat tangga menuju pintu masuk ke ruangan kecil dalam tubuh candi. Pintu candi dilengkapi dengan semacam bilik penampil yang menjorok keluar sekitar 1 m dari tubuh candi. Di atas ambang pintu dihiasi dengan pahatan Kalamakara.
- Candi Semar. Candi ini letaknya berhadapan dengan Candi Arjuna. Denah dasarnya berbentuk persegi empat membujur arah utara-selatan. Batur candi setinggi sekitar 50 cm, polos tanpa hiasan. Tangga menuju pintu masuk ke ruang dalam tubuh candi terdapat di sisi timur. Pintu masuk tidak dilengkapi bilik penampil. Ambang pintu diberi bingkai dengan hiasan pola kertas tempel dan kepala naga di pangkalnya. Di atas ambang pintu terdapat Kalamakara tanpa rahang bawah.
- Candi Puntadewa. Ukuran Candi Puntadewa tidak terlalu besar, namun candi ini tampak lebih tinggi. Tubuh candi berdiri di atas batur bersusun setinggi sekitar 2,5 m. Tangga menuju pintu masuk ke dalam ruang dalam tubuh candi dilengkapi pipi candi dan dibuat bersusun dua, sesuai dengan batur candi. Atap candi mirip dengan atap Candi Sembadra, yaitu berbentuk kubus besar. Puncak atap juga sudah hancur, sehingga tidak terlihat lagi bentuk aslinya. Di keempat sisi atap juga terdapat relung kecil seperti tempat menaruh arca. Pintu dilengkapi dengan bilik penampil dan diberi bingkai yang berhiaskan motif kertas tempel.
- Candi Sembrada. Batur candi setinggi sekitar 50 cm dengan denah dasar berbentuk bujur sangkar. Di pertengahan sisi selatan, timur dan utara terdapat bagian yang menjorok keluar, membentuk relung seperti bilik penampil. Pintu masuk terletak di sisi barat dan, dilengkapi dengan bilik penampil. Adanya bilik penampil di sisi barat dan relung di ketiga sisi lainnya membuat bentuk tubuh candi tampak seperti poligon. Di halaman terdapat batu yang ditata sebagai jalan setapak menuju pintu.
- Candi Srikandi. Candi ini terletak di utara Candi Arjuna. Batur candi setinggi sekitar 50 cm dengan denah dasar berbentuk kubus. Di sisi timur terdapat tangga dengan bilik penampil. Pada dinding utara terdapat pahatan yang menggambarkan Wisnu, pada dinding timur menggambarkan Syiwa dan pada dinding selatan menggambarkan Brahma. Sebagian besar pahatan tersebut sudah rusak. Atap candi sudah rusak sehingga tidak terlihat lagi bentuk aslinya.
BAB III KESIMPULAN
Kerajaan Mataram Kuno pernah di pimpin oleh 3 dinasti yang pernah berkuasa pada waktu itu, yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Sailendra, dan Wangsa Isyana.Istilah Isyana berasal dari nama Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa, yaitu gelar Mpu Sindok setelah menjadi raja Medang (929–947). Silsilah Wangsa Isyana dijumpai dalam prasasti Pucangan tahun 1041 atas namaAirlangga, seorang raja yang mengaku keturunan Mpu Sindok. Dalam masa 70 tahun itu tercatat hanya tiga prasasti yang berangka tahun yang ditentuka, yaitu prasasti Hara-Hara tahun 888 Saka (966 M) prasasti Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992 M) dan prasasti ucem tahun 934 Saka (1012-1013 M). Usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan sejak masa pemerintahan Rakai Kayuwangi. Yang diperdagagkan pertama-tama hasil bumi, seperti beras, buah-buahan, sirih pinang, dan buah mengkudu. Juga hasil industry rumah tangga, seperti alat perkakas dari besi dan tembaga, pakaian,paying,keranjang, dan barang-barang anyaman, gula, arang, dan kapur sirih. Binatang ternak seperti kerbau, sapi, kambing, itik, dan ayam serta telurnya juga di perjualbelikan.
Sekian Makalah kerajaan Mataram Kuno yang dapat reseapedia sampaikan semoga bermanfaat.
Comments