POLITIK ETHIS : BALAS BUDI




A.Pengertian Politik Ethis

Politik Ethis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa.

Sebuah era baru dalam penjajahan Indonesia telah dimulai. Sebuah zaman yang akan membawa Indonesia ke masa yang lebih cerah, yang akan membawa pada kemerdekaan. Adalah sebuah era perpolitikan baru kolonialisme di Nusantara. Menyebarnya pemikiran tentang HAM turut berperan bagi era baru penjajahan di Indonesia. Bukan rahasia lagi kalau kebanyakan masyarakat Belanda, yang merupakan penjajah Indonesia, turut meneriakkan tentang kebebasan dan kesejahteraan bagi Indonesia.

”Politik Ethis” biasa disebutnya, merupakan tonggak awal bagi kebangkitan rasa nasionalisme di Indonesia. Mengendurnya kolonialisme menjadikan rakyat Indonesia lebih banyak mendapat peluang untuk meningkatkan kemampuan diri, baik dalam ekonomi, politik, maupun pendidikan. Dan yang lebih utama dari adanya politik ethis ini ialah munculnya semangat nasionalisme yang menggerakkan semangat para pemuda membentuk organisasi-organisasi kepemudaan multi-nasional, yang menjadi tumpuan bangsa dalam merebut kemerdekaannya.

B.Latar Belakang

       Semenjak pemerintah kolonial Belanda memberlakukan sistem Tanam Paksa di Indonesia,  banyak menimbulkan penderitaan bagi rakyat pribumi seperti kemiskinan, kelaparan bahkan  kematian.  Selain itu banyak juga penduduk yang meninggalkan tanah kelahirannya hanya sekedar untuk menghindari diri dari sistem Tanam Paksa yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Politik ethis berakar baik pada masalah kemanusiaan maupun pada keuntungan ekonomi,adanya “perasaan dosa” terhadap politik kolonial dalam masa lampau juga karena ada kesadaran akan keadilan dan rasa tanggungjawab atas ksejahteraan rakyat. Kecaman-kecaman terhadap pemerintahan Belanda yang dilontarkan  dalam novel Max Havelaar (1860) dan berbagai pengungkapan lainnya mulai membuahkan hasil. Munculnya kaum Ethis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang. Dalam kecamannya, Brooshoft menyatakan bahwa selama satu abad lebih pemerintah mengambil keuntungan/bagian dari penghasilan rakyat dan tidak mengembalikan sepeserpun (Nugroho Notosusanto,1993). Semakin  banyak suara yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang tertindas, dan akhir abad XIX para pegawai kolonial baru berangkat menuju Indonesia membawa pemikiran tentang politik Ethis

C.Pencetus dan Tokoh Politik Etis

Garis politik kolonial baru pertama-tama diucapkan secara resmi oleh Van Dedem sebagai anggota Parlemen. Dalam pidatonya pada tahun 1891 diutarakannya keharusan untuk memisahkan kuangan Indonesia dari negeri Belanda .  Diperjuangkannya (juga kemajuan rakyat, antara lain dengan pembangunan umum), desentralisasi; kesejahteraan rakyat dan ekspansi yang pada umumnya menuju ke suatu politik yang konstruktif. Pada tahun 1899, seorang berkebangsaan Belanda, van Deventer menulis sebuah artikel berjudul ‘Een Eereschuld’ (utang kehormatan) yang berisi kerisauan kaum intelektual Belanda terhadap dehumanisasi di Hindia Belanda yang terpengaruh kapitalisme sangat kuat (Supriadi, 2003). Begitu ironis karena Belanda pada masa tersebut telah menggembar-gemborkan dirinya sebagai bangsa yang humanis dan memiliki peradaban yang sangat tinggi, tetapi melakukan politik pengerukan keuntungan secara besar-besaran dengan sistem tanam paksa (1830) dan sistem liberal (1870). Diungkapkan pula oleh van Deventer bahwa pemerintah Belanda berhutang pada penduduk Hindia Belanda lebih dari 187 juta gulden yang mana harus dibayarkan kembali dengan menyediakan anggaran khusus untuk peningkatan kesejahteraan mereka di segala bidang.

Munculnya artikel tersebut akhirnya memicu perubahan yang sangat drastis pada kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda terhadap penduduk jajahan di Hindia Belanda, yaitu dengan dicanangkannya politik ethis atau politik balas budi secara resmi disahkan pada tahun 1901 oleh Ratu Belanda. Rekaman surat-surat antar para pejabat pendidikan (khususnya Kementerian Pendidikan, Agama, dan Kerajinan), Menteri Tanah Jajahan, dan Gubernur Jenderal mengenai kebijakan pendidikan di Hindia Belanda dalam kurun waktu 1900-1940 menunjukkan secara jelas bahwa sejak awal abad ke-20 telah terjadi arus balik dari pendidikan yang elitis menuju pendidikan yang lebih populis (van der Wal dalam Supriadi, 2003), meskipun kedua model pendidikan tersebut masih tetap diberlakukan secara kombinatif hingga akhir pendudukan Belanda di bumi nusantara.

Tulisan van Deventer itulah yang kemudian membuka mata pemerintah Belanda untuk mengubah sistem Tanam Paksa dan sistem Liberal dengan kebijakan baru yang kemudian dikenal sebagai Politik Ethis atau Politik Balas Budi. Politik Ethis ini kemudian dikenal sebagai Trilogi van Deventer, yakni meliputi tiga kebijakan, yakni: Migrasi, Irigasi, dan Edukasi.

D.Tujuan

Dalam tujuannya, politik ethis bersifat rangkap: 
1.Meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi, dan 
2.Berangsur-angsur menumbuhkan otonomi dan desentralisasi politik di Hindia Timur Belanda. Pemerintah kolonial menyadari bahwa kedua tujuan tersebut tidak dapat dipisahkan, dan bahwa tujuan yang pertama hanya bisa diwujudkan apabila pemerintahan lokal benar-benar mau bertanggung jawab terhadap penduduk pribumi. Oleh karena itu, meskipun masalah kesejahteraan yang lebih penting, pemerintah kolonial pertama-tama akan memperhatikan masalah desentralisasi. Tindakan ke arah ini didasarkan pada tiga prinsip, yaitu (1) kekuasaan pemerintahan harus dialihkan dari Negeri Belanda ke Hindia, (2) dari Batavia ke daerah-daerah lain, dan (3) dari bangsa Eropa ke penduduk pribumi. Politik kolonial berbelok ke arah mempertumbuhkan otonomi pemerintahan, tetapi Belanda tidak bermaksud memberikan kemerdekaan politik kepada Hindia.

E.Kebijakan

Pertama, migrasi. Yang dimaksud migrasi adalah proses pemindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa, untuk dijadikan buruh yang akan dipekerjakan di daerah perkebungan atau daerah pertambangan milik Belanda. Kuli kontrak dari Pulau Jawa dipindahkan ke perkebunan karet di Pematang Siantar, Sumatera Utara, di daerah pertambangan batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat, dan bahkan juga di negeri jajahan Belanda di luar negeri.  Maksud awal kebijakan ini memang dipandang sebagai kebijakan yang bersifat simbiose mutualistis, karena dapat menguntungkan pihak Belanda di satu sisi, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di sisi lainnya. Namun, kenyataanya tidak demikian. Kebijakan itu semata-mata juga menguntungkan Belanda. Makin banyak hasil bumi dan hasil tambang yang dikeruk oleh Belanda dari bumi pertiwi Indonesia. Sementara rakyat tetap dalam keadaan miskin dan tertindas.

Kedua, irigasi. Negara Belanda dikenal mempunyai keahlian dalam bidang teknologi perairan. Laut di Belanda dapat dibendung dan dijadikan daerah perkotaan. Oleh karena itu, dalam hal teknologi pengairan, Belanda memang jagonya. Melalui kebijakan irigasi, Belanda membangun jaringan irigasi yang diperlukan untuk pengairan teknis sawah dan perkebunan yang dicetak Belanda. Lagi-lagi kebijakan ini sesungguhnya bukanlah sebagai politik balas budi Belanda, melainkan semata-mata untuk mengeruk lebih banyak lagi kekayaan dari tanah jajahan.    

Ketiga, edukasi. Kebijakan edukasi adalah pemberian kesempatan untuk bersekolah bagi rakyat jajahan. Untuk itu, maka perluasan besar-besaran jumlah sekolah dilakukan oleh Belanda. Pembukaan sekolah itu kemudian juga membuka peluang untuk pembukaan sekolah-sekolah guru untuk penyediaan gurunya. Diperoleh caratan dari Kementerian Jajahan pada tanggal 16 Desember 1901 bahwa jumlah siswa sekolah guru di Banding ditambah dari 50 menjadi 100 orang, di Yogyakarta dari 75 menjadi 100 orang, di Probolinggo dari 75 menjadi 100 orang, di Semarang dibuka sekolah guru baru dengan siswa sebanyak 100 orang (Dedi Supriadi, 2003: 11). Namun, apa dengan demikian rakyat jajahan dapat memperoleh pendidikan secara merata? Tidak, karena yang memperoleh kesempatan untuk memperoleh pendidikan tersebut kebanyakan adalah golongan priyayi, dengan maksud untuk diangkat menjadi pegawai Belanda.

Pada tahun 1902 Alexander W.F. Idenburg menjadi Menteri Urusan Daerah Jajahan. Dengan memegang jabatan ini dan jabatan Gubernur Jendral, maka Idenburg mempunyai lebih banyak kesempatan daripada siapa saja yang memprktekkan pemikiran pemikiran politik Ethis.

F. Pelaksanaan

Komoditi-komoditi ekspor Jawa yang terpenting adalah teh,kopi, gula, karet, ubi kayu, dan tembakau. Dari sebagian besar komoditi itu, maka hasil produksi daerah-daerah luar Jawa lebih banyak daripada Jawa. Bergesernya kegiatan ekonomi ke daerah-daerah luar jawa itu menimbulkan kesulitan yang besara dalam kebijakan pemerintah dan kesulitan yang berlangsung sejak saat ini adalah lapangan-lapangan investasi dan penghasil-penghasil komodoti ekspor yaitu daerah-daerah luar Jawa. Akan tetapi masalah-masalah kesejahteraan yang besar, tuntutan-tuntutan utama terhadap ‘hutang kehormatan’ adalah di jawa. Dalam teori, program-program kesejahteraan di jawa dapat dibiayai dengan mengharuskan daerah-daerah luar jawa memberikan subsidi bagi program-program tersebut sehingga menghindarkan naiknya tingkat-tingkat pajak yang sudah sangat beraata di jawa. Hal ini akan memaksa dikenakannya pajak yang tinggi terhadap keuntangan-keuntungan yang diperoleh peruasahaan-perusahaan di luar jawa.

Dengan demikian, maka perbedaan antara jawa dan luar daerah-daerah Jawa yang berakar pada masa lalu sekarang ini menjadi semakin mencolok. Daerah-daerah luar Jawa merupakan wilayah yan mempunyai ikatan-ikatan dengan Islam yang sangat mendalam, kegiatan kewiraswastaan yang lebih besar, komoditi-komoditi ekspor yang lebih berharga, investasi asing yang lebih besar, lebih belakangan ditakluk oleh Belanda, dan tekanan jumlah penduduk yang kurang padat. Dalam pertumbuhan dan masalah kesejahteraan penduduk pribumi hanya mampunyai kaiatan dalam proyek-proyek infrastruktur saja. Misalnya,perluasan jaringan rel kereta api dan trem. Jaringan rel kereta api diseluruh wilayah hindia Belanda pada tahun 1867 hanya mencapaai panjang kira-kira 25 kilometer, dan pada tahun 1873 hanya sekitar 260 kilometer. Akan tetapi, kemudian terjadi perkembangan yang sangat pesat. Pada tahun 1930 jaringan rel kereta api dan trem sudah mencapai panjaang 7425 kilometer.

Pertambahan jumlah penduduk mempengaruhi semua perkembangan yang terjadi salama zaman penjajahan penduduk Jawa (khususnyan Jawa tengah dan Jawa Timur) meningkat secara berlebihan secara serius, sementara di daerah-daerah luar Jawa masih banyak daerah yang luas yang jarang penduduknya atau tidak berpenduduk sama sekali. Baru pada tahun 1930 dilakukan sensus yang dapat dikatakan memberikan angka-angka yang dapat dipercaya untuk seluruh Indonesia. Pertumbuhan penduduk Jawa mempunyai hubungan yang mendasar terhadap tingkat kesejahteraan yang rendah, tetapi pihak Belanda tidak mempunyai kebijakan yang dapat memecahkan masalah tersebut. Memang sulit untuk memahami apa yang dapat dilakukan. Satu-satunya jawaban yang diberikan oleh Belanda adalah emigrasi dari Jawa ke daerah-daerah luar Jawa, suatu kebijakan yang masih terus dilanjutkan setelah kemerdekaan Indonesia dengan nama transmigrasi. Banyak penduduk Jawa yang juga meninggalkan pulau mereka untuk bekerja sebagai kuli-kuli kontrak di perkebunan –perkebunan di Sumatra Timur dan tempat-tempat lainnya ( pada tahun 1931 terdapat lebih dari 306.000 orang tenaga kerja semacam itu), dan beberapa lainnya telah pergi untuk mencari kerja di bidang lain atau berdagang.

Pada tahun1900 dan 1930 Pihak Belanda telah meningkatkan anggaran belanja mereka untuk proyek-proyek kesehatan umum sebesar hampir 10 kalilipat. Akan tetapi, menghadapi kemiskinan yang mendalam dan penduduk Jawa yang terlalu banyak, hasilnya hanya terbatas. Dan dilakukannya berbagai program imunisasi, kampanye-kampanye anti malaria, dan perbaikan-perbaikan kesehatan barang kali menyebabkan turunnya angka kematian (dan dengan demikian juga bertambahnya jumlah penduduk), walaupun angka-angka statistiknya masih diragukan. Akan tetapi, perlengkapan medis yang professional pada umumnya masih tetap tidak cukup memadai.

Pada tahun1906 peraturan Desa dan praktek-praktek pihak Belanda selanjutnya bertujuan untuk meningkatkan peran serta rakyat secara demokratis dalam urusan-urusan Desa. Untuk meningkatkan kepaduan sosial serta memungkinkan Residen dan Controuleur Belanda bersama kepala desa memimpin desa menuju langkah-langkah kesejateraan yang diperlukan. Usaha-usaha tersebut gagal, kemiskinan dan kelebihan penduduk agaknya dengan sendirinya cukup merusak kehidupan desa-desa Jawa yang otonom dan semidemokratis. Belanda berpendapat bahwa desa Jawa merupakan unit pemerintahan yang tidak efisien. Untuk menciptakan suatu struktur pemerintahan yang lebih rasional dan untuk menjamin penghasilan yang lebih besar bagi kepala Desa maka dilaksanakan suatu kebijakan penggabungan suatu desa-desa.      

G.Dampak

Kebijakan ini juga membawa dampak bagi segala aspek kehidupan di Indonesia, di antara dampak-dampaknya ialah berikut ini:
1.Politik
Desentralisasi menjadi sasaran utama adanya politik ethik kolonial. Desentralisasi dari Den Haag ke Batavia (Jakarta). Dari Batavia ke daerah-daerah dan dari orang Belanda ke orang-orang Indonesia. Namun jika dilihat dari jumlah anggota dewan yang ada di setiap kota, maka tidak merepresntasikan sepenuhnya suara rakyat Indonesia. Hal ini karena mayoritas yang duduk di kursi dewan adalah orang Belanda dan hak suara hanya diberikan kepada penduduk laki-laki yang melek huruf (berpendidikan). Langkah paling nyata ke arah desentralisasi adalah pembentukan Dewan Rakyat (Volkraad) , yang sidang pertamanya diselengarakan pada 1918. Dari dalam negeri, mengendurnya kebijakan politik mendorong berdirinya organisasi-organisasi keangkitan nasional. Sebuah blunder bagi kaum kolonial, karena berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi semakin meningkatkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia yang membawa kepada kemerdekaan bangsa.  Peningkatan jumlah penduduk yang drastis juga menjadi bagian dari berkembangnya politik ethis. Pada tahun 1930 menyentuh angka 40,9 juta jiwa untuk penghuni Jawa dan Madura saja. Padahal hanya 28,4 juta jiwa pada tahun 1900, dan 34,4 juta jiwa pada 1920. sedangkan luar Jawa mencapai 18,2 juta Jiwa. Hal yang tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi Jawa yang kalah produksi dari luar Jawa. Peningkatan jumlah penduduk ini juga mendorong adanya transmigrasi (emgratie: dalam istilah Belandanya). Banyak penduduk Jawa yang berpindah ke Sumatera meski hanya sekedar menjadi kuli. Namun sebetulnya, perpindahan tersebut tidak sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat.
Ada beberapa yang dinilai sebagai penyebab dari peningkatan jumlah penduduk ini. Di antaranya adalah peningkatan anggaran kesehatan yang meningkat hampir sepuluh kali lipat. Dilakukannya imunisasi, kampanye anti malaria, perbaikan-perbaikan kesehatan menyebabkan turunnya angka kematian. Penggunaan genteng juga menjadi menurunnya angka kematian yang biasa disebabkan oleh wabah pes yang melanda akibat tikus yang biasa hidup di atap-atap jerami. Meski secara umum kesehatan di Nusantara masih belum memadai, tapi berkembangnya organisasi-organisasi kemasyarakatan banyak berperan dengan mengadakan penyuluhan-penyuluhan.
Kemudian pada kurun waktu sampai 1927 juga dilaksanakan penyusutan jumlah desa di Nusantara. Dari 30.500 desa pada 1897, kini tersisa 18.584 desa saja. Hal ini ditempuh untuk menciptakan sistem pemerintahan yang lebih rasional dan menjamin gaji yang lebih tinggi untuk kepala desanya. Dan yang paling menjadi sorotan bagi dunia kesejarahan dalam era ini adalah bergesernya suatu paradigma yang mulanya cenderung ke barat-baratan kini lebih cenderung pada sudut pandang Indonesia. Eropasentris dianggapnya suatu bentuk penulisan sejarah tidak objektif karena bukan dinilai dari objeknya. Heather Sutherland menjadi tokoh utama adanya paradigma baru ini. Di Indonesia sendiri, Kuntowijoyo tampil sebagai sejarawan pertama dari kalangan penduduk biasa, karena sbelumnya, penulis sejarah meskilah seorang bangsawan, ningrat. Ciri yang menunjukan paradigma baru sejarah ini dari penggunaan kata perjuangan yang sebelumya pemberontakan, juga terbukanya penulisan sejarah bagi semua kalangan.
2.Ekonomi
Pada zaman ini juga ditandai dengan naiknya pamor Nusantara dalam poduksi. Nilai ekspor barang meningkat drastis, baik dari semar pertanian maupun minyak bumi. Produksi gula meningkat hampir empat kali lipat sebelum mengalami depresi, teh meningkat hampir sebelas kali lipat. Begitupun dengan produk tembakau, lada, kopra, kopi dan lainnya.  Minyak bumi juga seolah tak mau kalah. Meski sempat dikhawatirkan industri minyak bumi akan tenggelam disebabkan ditemukannya lampu pijar yang tidak menggunakan minyak, tapi seperti kebetulan di saat yang sama juga ditemukan mesin-mesin teknologi baru seperti mobil. Bahkan Nusantara menjadi salah pengekspor minyak bumi terbesar di dunia. Hal ini mendorong para investor asing untuk mulai menanamkan modalnya dalam negeri. De koninklijke, yang menjadi pemasok terbesar, bergabung dengan Shell Transport dan Trading Company menjadikannya perusahaan minyak multi nasional terbesar. Royal Dutch Shell, gabungan perusahaan multinasional tersebut, memproduksi 85% dari seluruh produksi minyak bumi Nusantara.
Selain minyak bumi, karet juga menjadi salah satu penghasil terbesar di Nusantara ketika munculnya kendaraan-kendaraan bermesin. Hevea Brasiliensis (nama latin karet) menjadi tanaman yang paling banyak ditanami di periode tahun 1930-an. 44 persen dari luas tanah yang disediakan bagi lahan perkebunan ditanami karet. Pada masa itu, Indoensia memproduksi hampir separoh dari kebutuhan karet dunia.
Masa ini ditandai dengan menurunnya produk-produk ekspor Jawa dibanding dengan produk Luar Jawa, kecuali teh dan gula. Bahkan gula pun tenggelam setelah terjadi depresi, walaupun produksi tidak menurun, tapi karena harga turun menimbulkan kerugian. Meski ekspor ubi kayu hampir seluruhnya berasal dari Jawa, namun nilainya hanya seperdelapan dari ekspor karet. Bergesernya kegiatan ekonomi ke daerah-daerah luar Jawa menimbulkan kesulitan yang besar dalam kebijakan pemerintah. Lapangan investasi dan penghasil komoditi ekspor yang terpenting berada di luar Jawa.
3.Pendidikan
Banyak sekali usaha yang dijalankan di bidang pendidikan, dan hasil-hasilnya seringkali membuat bangga para pejabat Belanda. Semua pendukung politik ethis menyetujui ditingkatkannya pendidikan bagi rakyat Indonesia, tetapi ada uda aliran pemikiran yang berbeda mengenai jenis pendidikan yang bagaimana dan untuk siapa. Snouck Hurgronje dan direktur pendidikan yang ’ethis’ pertama, J.H. Abendanon, mendukung pendekatan yang sifatnya elitis. Mereka lebih menginginkan pendidikan gaya Eropa dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya bagi kaum elit Indonesia yang dipengaruhi Barat, yang dapat mengambil alih banyak dari pekerjaan yang ditangani para pegawai pemerintahan berkebangsaan Belanda, sehingga menciptakan suatu elit yang tahu berterimakasih dn bersedia bekerjasama, memperkecil anggaran belanja pemerintah, mengendalikan fanatisme Islam, dan akhirnya menciptakan keteladanan yang akan menjiwai masyarakat Indonesia golongan bawah.
Idenburg dan Gubernur Jenderal ven Heutsz mendukung pendidikan yang lebih mendasar dan praktis dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya. Pendekatan yang sifatnya elit diharapkan dapat menciptakan pemimpin-pemimpin baru bagi zaman cerah Indonesia-Belanda yang baru, sedangkan pendekatan yang merakyat itu akan member ikan sumbangan secara langsung bagi kesejahteraan.
Secara umum, perkembangan pendidikan dan pengajaran sampai akhir abad ke-19 menunjukkan kecenderungan-kecenderungan yang dipolitisir, sebagaimana kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda berikut ini:
1.Pendidikan dan pengajaran harus bersifat netral dan tidak berdasarkan agama (Kartodirdjo, 1987). Hal ini jelas dilakukan karena pengaruh aliran liberalisme yang sedang berkembang di Nederland. Lagipula, model pendidikan tradisional yang sudah ada seperti pesantren dan langgar, dianggap sangat sukar untuk diintegrasikan dengan pendidikan yang liberal. Sehingga untuk memojokkan pendidikan berbasis agama Islam dilakukan Belanda dengan mengeluarkan Ordonantie yang rumit secara birokratis, tidak memberikan dukungan pendanaan, dan mempercepat kenaikan status pegawai pangreh praja yang sekuler kebarat-baratan meskipun memeluk Islam (Ham, 2004).
2.Bahasa Belanda tidak diajarkan di sekolah-sekolah pribumi, dengan alasan untuk tetap melestarikan kebudayaan lokal dengan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah pribumi. Padahal kebijakan ini ditempuh karena ketakutan pemerintah Belanda bila penduduk jajahan mengetahui bahasa mereka maka akan mengetahui strategi kolonisasi Belanda.
3.Pembukaan sekolah pribumi hanya didasarkan sebatas kebutuhan praktis pemerintah Belanda saja, misalnya untuk kebutuhan pegawai rendahan, dan tidak untuk mencerdaskan penduduk jajahan.
4.Pendidikan lebih dikhususkan pada anak-anak golongan priyayi. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan penduduk yang lebih rendah status sosialnya dapat mudah ditundukkan karena pemerintah Belanda telah memegang golongan priyayi yang merupakan kaum elit (Rickfles, 2001).
Sistem pendidikan yang dualistis pada masa ini juga membuat garis pemisah yang tajam antara dua subsistem: sistem sekolah Eropa dan sistem sekolah pribumi. Tetapi, pada tahun 1892 akhirnya dilakukan restrukturisasi terhadap sistem persekolahan karena kebutuhan yang sangat besar terhadap pegawai rendahan yang bisa berbahasa Belanda, sebagaimana berikut (Kartodirdjo, 1987):
(1) Sekolah kelas satu (ongko sidji) atau eerste klasse untuk anak-anak golongan priyayi dengan pelajaran bahasa Belanda;
(2) Sekolah kelas dua (ongko loro) atau tweede klasse untuk rakyat kebanyakan tanpa pelajaran bahasa Belanda.
Tahun 1900 mulai berdiri OSVIA yang mas pendidikannya berlangsung slama lima tahun dengan bahasa Belanda sebagai pengantarnya dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia yag telah menyelesaikan sekolah rendah Eropa. Tahun 1927 masa pendidikannya ikurangi menjadi 3 tahun. Sekolah Dokter Jawa diubah menjadi STOVIA yang terbuka untuk orang-orang Indonesia. Abendanon memperluas peluang bagi rakyat Indonesia yang bukan bangsawan untuk memasukinya dan menghapuskan uang sekolah bagi para orangtua yang penghasilannya di bawah 50 gulden per bulan.
Para bupati yang konservatif menjadi penghalang Abendanon dalam langkah pembaruan-pembaruannya. Cita-citanya sebetulnya sama dengan yang dimiliki oleh RA Kartini (1879-1904), putra bupati maju di jawa, RM Adipati Arya Sasraningrat.
Cita-cita tentang pendidikan kaum wanita yang begitu didambakan oleh Kartini dan Abendanon tersebut tidak pernah mendapat prioritas pemerintah, terutama oleh pengaruh para bupati yang konservatif dan pejabat-pejabat kolonial yang skeptis. Pada tahun 1911 Abendanon memberikan penghargaan pribadi kepada Kartini dengan menerbitkan surat-surat Kartini yang mengharukan yang ditulis Kartini antara tahun 1899 dan 1904 dengan judul door duisternis tot licht (habis gela terbitlah terang). Di negeri Belanda pada tahun 1913 didirikan suatu yayasan swasta ernama Kartini Fond (Dana Kartini) yang akan mengurusi pendidikan berbahasa Belanda agi kaum wanita Jawa, yang kemudian disubsidi oleh pemerintah Belanda.
Pada tahun 1909 juga mulai didirikan sekolah-sekolah kejuruan, meski sempat terjadi pertentangan di antara Snouck Hurgronje dan Gubernur Jenderal van Heutsz. Misi-misi Kristen memulainya di Minahasa, daerah-daerah batak Sumatera dan Jawa. Sekolah-sekolah tersebut juga membuka kursus bagi pandai besi, tukang kayu, tukang listrik dan para montir mobil.
Perbaikan pendidikan yang paling berarti adalah dalam sistem sekolah yang dibuka untuk orang-orang Indonesia sejak tahun 1892-1893. sekolah dasar ini dibagi ke dalam dua kelas; kelas satu diperuntukkan bagi golongan atas, sedangkan kelas dua untuk rakyat jelata. Guru-guru berkebangsaan Belanda, meski kebanyakan wanita karena para lelakinya hampir semuanya tak sepaham dengan ide ini.
4.Agama
Pada pergantian abad XIX ke XX, banyak orang-orang Islam yang mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen dan perjuangan-perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain di Asia apabila mereka terus melanjutkan kegiatan den banggan cara-cara tradisional dalam menegakkan Islam. Kesadaran ini membawa angina segar untuk segera membenahi sistem-sistem klasik untuk beralih pada sistem yang lebih modern. 

H.Penentang politik ethis

Kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah biasanya akan mendapatkan respon posotif dan negatif. Demikian juga dengan kebijakan Trilogi van Deventer. Ada kalangan konservatif dari mesin birokrasi pemerintah Belanda, misalnya dari bupati dan jajarannya, yang sejak awal sangat tidak setuju dengan kebijakan ini, karena khawatir akan kehilangan kekuasaannya. Mereka lebih memilih kebijakan yang elitis dalam bidang pendidikan, misalnya dengan hanya memberikan kesempatan kepada kaum priyayi untuk masuk ke sekolah-sekolah yang dibangun Belanda. Snouck Hurgronje dan J.H. Abendanon (Direktur Pendidikan, Agama, dan Kerajinan pada tahun 1900 – 1905) memilih pendekatan yang elitis ini. 

Sebaliknya, lahirlah kaum liberal yang lebih menyokong kebijakan yang populis demham memberikan kesempatan kepada orang-orang pribumi untuk memperoleh pendidikan, dengan tujuan antara lain adalah: (1) untuk menekan biaya pemerintahan, karena para pegawai yang dihasilkan dari kalangan pribumi akan digaji lebih murah; (2) mengurangi sikap fanatisme dari kelompok Muslim tradisional, dan sekaligus (3) memberikan contoh kepada masyarakat kelas menengah ke bawah tentang bagaimana “hidup modern” ala Barat. Oleh karena itu, Menteri Tanah Jajahan, Idenburg, dan Gubernur Jenderal van Heurtz (1904 – 1909) lebih memilih kebijakan yang populis ini, yakni memberikan kesempatan kepada masyarakat kelas bawah untuk dapat memasuki sekolah yang didirikan Belanda dan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di sekolah itu. (Ricklefs, 2001; Watson, 1975 dalam Dedi Supriadi, 2003: 12).     

Kebijakan pendidikan dalam Politik Ethis, walau bagaimanapun telah meningkatkan jumlah siswa Sekolah Desa atau Sekolah Rakyat secara signifikan. Jumlah siswa Sekolah Desa 110.000 siswa pada tahun 1900 telah meningkat menjadi 780.000 pada tahun 1920, dan kemudian bertambah lagi hampir tiga kali lipat menjadi 2.200.000 siswa pada tahun 1940 (Dedi Supriadi, 2003: 13).

Pada pelaksanaan politik ethis tahun 1905, tahun pemilihan di Belanda, Van Deventer dan kawan-kawannya menang dalam Parlemen Belanda, yang karena itu mereka menjadi pemeran utama dalam pembentukan kabinet. Seorang anggota partai Demokrat Liberal, D. Fock, menjadi Menteri Jajahan. Dia bersedia memajukan dan meluaskan pendidikan para pribumi. Usaha ini terdukung oleh saran dan konsep Snouck Hurgronje, seorang profesor indolog di Leiden (1906) yang menyarankan agar pemerintah kolonial Belanda memberikan pendidikan kepada elit pribumi dalam tradisi yang paling baik dari Barat yang nantinya diharapkan menjadi tokoh penting yang berpengaruh luas dalam masyarakat Indonesia. Sementara itu pelaksana Politik Etis di bidang pendidikan (edukasi) terutama adalah J.H. Abendanon (yang diangkat sebagai Direktur Pendidikan di Hindia Timur pada tahun 1900). Dia dan isterinya banyak memberikan rangsangan yang menimbulkan kesadaran kepadapara angkatan muda Indonesia, antara lain pemuda Abdoel Moeis yang belakangan menjadi pemimpin Sarekat Islam (SI) dan lewat korespondensi dia berhasil mengobarkan semangat pemikiran Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara, yang pada akhirnya merangsang tumbuhnya sekolah-sekolah untuk kalangan wanita di Indonesia.

       Sesuai dengan semangat Politik Etis, pemerintah kolonial Belanda memperbanyak jumlah sekolah. Pada tahun 1903 mulai didirikan sekolah rendah yang dinamakan Volk School (Sekolah Desa) dengan masa belajar 3 tahun yang kemudian dilanjutkan denmgan program Vervolg School (sekolah Lanjutan) dengan masa belajar selama 2 tahun. Pemulaan sekolah semacam ini lalu dilanjutkan untuk tahun-tahun berikutnya, misalnya yang dinamakan Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO), yakni sebuah sekolah yang jenjangnya setingkat dengan SMP pada zaman Belanda dan program Algemeene Middelbare School (AMS) yang jenjangnya setingkat dengan SMA.

Untuk memberi gambaran yang lebih jelas bagaimana kondisi yang nota bene disemangati oleh Politik Etis di atas, di sini akan dituliskan, sebagai contoh, bagaimana sebenarnya yang disebut Volk School (Sekolah Desa) itu. Volk School digalakkan berdasar inisiatif Gubernur Jendral Van Heutz. Dia menganggap jenis sekolah ini adalah sekolah yang lebih sederhana dan lebih murah. Van Heutz berkenalan dengan asisten-residen Ambarawa, De Bruin Prince, yang mendirikan 100 sekolah di berbagai desa sebagai percobaan. Program pelajarannya meliputi membaca, menulis dan berhitung dalam bahasa Jawa. Sementara itu juga diajarkan ketrampilan tangan seperti membuat keranjang, pot, genting dan sebagainya. Tempat belajarnya bersifat sementara, yaitu memakai pendapa. Kayu diambil dari hutan yang ditebang untuk penanaman kopi. Guru-gurunya diambil dari kalangan penduduk sendiri, yang gaji mereka berupa sebidang tanah untuk digarap. Anak-anak duduk di lantai, sedangkan bagi anak-anak yang memiliki kewajiban menggembala kerbau, maka selama belajar (antara pukul 09.00-12.00 dan 13.00-15.00) kerbau-kerbau yang digembalakan dapat dilepas di sebidang tanah di sebelah tempat belajar yang dipagari. Dengan memperhatikan gambaran tersebut, maka dapat dibayangkan betapa sederhananya persekolahan yang disebut Volk School itu.

Walaupun nampaknya cukup baik tujuan didirikan bentuk-bentuk persekolahan di atas, namun dalam prakteknya, sekalipun tidak secara langsung, terdapat kecenderungan diskriminatif. Kecenderungan itu nampak dalam hal cara menyaring anak sekolah. Caranya ialah dengan memberlakukan biaya sekolah yang cukup mahal, dan juga sering diutamakan bagi keluarga yang memiliki keturunan darah biru (darah ningrat, darah keraton) atau dari kalangan para “priyayi” (pangreh praja atau pegawai dalam kantor pemerintah Belanda). Oleh karena itu, bagi kalangan masyarakat bawah, maka hanya dari anggota masyarakat yang mampu atau kaya saja yang dapat menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang cukup tinggi. Bagi anggota masyarakat yang kurang berpunya atau miskin terpaksa tidak dapat memasukkan anak-anaknya ke sekolah, atau paling tidak terpaksa mengambil alternatif lain, misalnya memasukkan anak-anaknya ke dalam pondok pesantren.

Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa tujuan penyelenggaraan sekolah yang dilakukan Belanda di atas tidak murni hanya semata-mata untuk memberdayakan pendidikan masyarakat, melainkan justru untuk menghasilkan tenaga birokrat (sesuai dengan level pendidikannya) untuk dapat direkrut dalam jabatan-jabatan teknis di pemerintahan kolonial Belanda. Sebagai contoh, sejak 1864 oleh Belanda telah diintroduksi sebuah program ujian yang disebut Klein Ambtenaars’ Examen, yaitu sebuah program ujian pegawai rendah yang harus ditempuh agar seseorang dapat diangkat sebagai pegawai pemerintah. Oleh karena itu, nampak jelas bahwa program untuk menciptakan birokrat rendahan yang cukup menonjol, apalagi setelah pada tahun 1900 diperkenalkan sekolah Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), yaitu sebuah sekolah yang dipersiapkan untuk menjadi pegawai pemerintah untuk kalangan pribumi. Dengan demikian terdapat kesan kuat bahwa kegiatan pendidikan adalah untuk kelancaran ekonomi dan politik Belanda.

Pelaksanaan politik ethis bukannya tidak mendapat kritik. Kalangan Indo, yang secara sosial adalah warga kelas dua namun secara hukum termasuk orang Eropa merasa ditinggalkan. Di kalangan mereka terdapat ketidakpuasan karena pembangunan lembaga-lembaga pendidikan hanya ditujukan kepada kalangan pribumi (eksklusif). Akibatnya, orang-orang campuran tidak dapat masuk ke tempat itu, sementara pilihan bagi mereka untuk jenjang pendidikan lebih tinggi haruslah pergi ke Eropa, yang biayanya sangat mahal.

Ernest Douwes Dekker termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik ini karena meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumilah yang harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap (blijvers) dan Tionghoa.

Suatu bentukpolitik colonial konservatif yang didasarkan atas kewajiban moril tehadap daerah jajahan adalah ideology olonial yang dirumuskan oleh Colijn. Colijn adalah tokoh politik terkemuka, dalam karangannya yang berjudul Koloniale Vraagstukken Van Heden en Morgen menegaskan bahwa politik colonial perlu digariskan menurut dua pokok
1.Menurut arah, irama, dan tempo
2.Menurut kewajiban dari prinsip-prinsip
Selanjutnya menurut Colijn, “Hindia” tidak mampu berdiri sendiri, lagi pula tidak dapat menentukan waktu kapan akan berdiri sendiri. (1) Tidak ada kesadaran bangsa Indonesia, (2) kesatuan Indonesai hanya merupakan fatamorgana. Senada denan Colijn uraian Treud, seorang tokoh dari kalangan pengusaha Belanda mengingkari adanya nation Indonesia

I.Masalah

Kegagalan politik etis tampak jelas pada tahun-tahun akhir Perang Dunia I waktu dimana timbul kelaparan dan kemiskinan. Perbedaan antara golongan Eropa dan pribumi sangat mencolok. Tidak mengherankan apabila kira-kira waktu itu kegelisahan sosial sangat meluas, pemberontakan petani, di Jambi (1916), Pasarrebo (1916), Cimareme (1918), Toli-toli ( 1920)
Selama pemerintahan Van Limburg Stirum perhatian dipusatkan pada aksi ekonomis dan aksi pemburuhan, sedang aksi pergerakan nasional mengambil arah politik yang condong kekiri. Proses radikalisasi bertambah kuat sejak tahun 1921 antara lain disebabkan oleh:
1.Timbulnya krisis ekonomi pada tahun 1921 dan krisis perusahaan gula sejak tahun 1918;
2.Pergantian tampuk pemerintahan ke Gubernur Jenderal Fock yang sifatnya lebih reaksioner.
Pada tahun 1920 ekspor gula mulai menurun sehingga mengakibatkan kerugian-kerugian besar bagi perusahaam-perusahaan Barat yang mengakibatkan pengangguran semakin bertambah banyak dan menimbulkan ketegangan sosial.
Permasalahan dalam pelaksanaan politik ini juga dapat dilihat dari berbagai kebijakan yang diambil saat itu, seperti pemindahan penduduk dari Jawa ke Sumatra, Pembuatan saluran Irigasi, dan dibangunnya sekolah-sekolah. Pengiriman penduduk dari Jawa ke Sumatra dilakukan untuk mempekerjakan mereka di perkebunan Belanda dengan gaji yang kecil. Pemakaian tenaga dari pribumi yang dikirim ke perkebunan dengan gaji kecil akan memperkecil biaya produksi dan Belanda akan mendapat keuntungan yang besar. Pembuatan saluran irigasi juga mengalami permasalahan karena air itu dialirkan lebih banyak ke perkebunan Belanda. Pendidikan pun ditujukan untuk dapat bekerja pada Belanda.

J.Manfaat Politik Ethis

Manfaat penerapan politik Ethis bagi Indonesia sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan Indonesia sampai saat ini,yaitu:
Meningkatnya kemampuan rakyat pribumi dalam bidang politik, ekonomi, maupun pendidikan
Semakin timbulnya rasa nasionalisme
Lahirnya organisasi-organisasi pemuda Indonesia terus berkembang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia


SUMBER

Rickfles, MC. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Poesponegoro, Marwati Djoened dkk.1993. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka
http:// www.wikipedia.org
http://masheriyo.blogspot.com
http://www.taufikrahman.co.cc
http://www.suparlan.com
http://ruangbacasemarang.blogspot.com
http://www.anri.go.id




Download File disini

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Kerajaan Mataram Kuno Lengkap

Merpati Endemik Jenis Keter

JADWAL KEGIATAN RAIMUNA CABANG VI