Berbagai Adat Perkawinan di Indonesia
Pada dasarnya adat perkawinan suku di Indonesia bertolak dari anggapan masyarakat bahwa perkawinan adalah suatu hal yang luhur, bukan sekedar ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, tetapi merupakan proses menyatukan dua keluarga, dan istilah orang Jawa disebut kadang katut.
Upacara perkawinan dilakukan dengan cara gotong royong. Semua keluarga ikut memberikan sumbangan demi terselenggaranya upacara perkawinan itu, demikian juga para tetangga dan kenalan lain. Adat perkawinan di Indonesia banyak sekali ragamnya, setiap suku mempunyai adat perkawinan sesuai dengan agama dan tradisi upacara yang ada di daerah masing-masing, antara lain sebagai berikut.
Upacara perkawinan dilakukan dengan cara gotong royong. Semua keluarga ikut memberikan sumbangan demi terselenggaranya upacara perkawinan itu, demikian juga para tetangga dan kenalan lain. Adat perkawinan di Indonesia banyak sekali ragamnya, setiap suku mempunyai adat perkawinan sesuai dengan agama dan tradisi upacara yang ada di daerah masing-masing, antara lain sebagai berikut.
Adat perkawinan Suku Batak
Pada masyarakat Batak ada ketentuan seorang pemuda dalam memilih calon istrinya, dianggap ideal apabila menikah dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya. Mereka tidak boleh mengadakan perkawinan dalam satu marga atau mengambil anak perempuan dari saudara perempuan ayah untuk dijadikan istri.
Proses perkawinan dimulai dengan penjajakan tidak resmi antara keluarga pria terhadap keluarga wanita. Setelah ada kecocokan pihak laki-laki melamar dengan mengirimkan utusan untuk marhusip atau mungkuni. Apabila keluarga wanita menerima marhusip itu, tahap berikutnya adalah ngembah manuk, yaitu perundingan antara dua keluarga guna menentukan mas kawin atau tukur/tuhor.
Mas kawin ini dapat berupa perhiasan dan dapat pula berbentuk babi atau kerbau. Ditentukan pula berapa jumlah harta yang akan diterima oleh saudara laki-laki ibu gadis. Ini disebut tulang, upa atau bere-bere. Juga ditentukan jumlah harta yang akan diterima oleh saudara nenek si gadis dari pihak ibu (perempuan). Masih banyak lagi kewajiban pemberian harta dari pihak keluarga calon pengantin pria kepada keluarga pihak si gadis.
Semua dilakukan dengan perundingan dan pembicaraan terakhir, yaitu menentukan perkawinan yang akan dilaksanakan. Upacara adat perkawinan umumnya dilakukan secara meriah dengan berbagai nyayian dan tarian serta pemotongan kerbau atau beberapa ekor babi untuk keperluan pesta. Adat Batak juga mengenal adanya kawin lari yang disebut mangalua.
Jika kawin lari terpaksa dilakukan dalam tempo 1 hari 1 malam harus ada utusan dari pihak keluarga laki-laki yang datang pada orang tua si gadis untuk melaporkannya. Selang beberapa waktu kemudian, apabila diperkirakan keluarga pihak wanita sudah mulai reda marahnya di adakan upacara manuruk-nuruk sebagai cara minta maaf. Kawin lari pada suku Batak boleh dipestakan sesudah upacara permintaan maaf.
Proses perkawinan dimulai dengan penjajakan tidak resmi antara keluarga pria terhadap keluarga wanita. Setelah ada kecocokan pihak laki-laki melamar dengan mengirimkan utusan untuk marhusip atau mungkuni. Apabila keluarga wanita menerima marhusip itu, tahap berikutnya adalah ngembah manuk, yaitu perundingan antara dua keluarga guna menentukan mas kawin atau tukur/tuhor.
Mas kawin ini dapat berupa perhiasan dan dapat pula berbentuk babi atau kerbau. Ditentukan pula berapa jumlah harta yang akan diterima oleh saudara laki-laki ibu gadis. Ini disebut tulang, upa atau bere-bere. Juga ditentukan jumlah harta yang akan diterima oleh saudara nenek si gadis dari pihak ibu (perempuan). Masih banyak lagi kewajiban pemberian harta dari pihak keluarga calon pengantin pria kepada keluarga pihak si gadis.
Semua dilakukan dengan perundingan dan pembicaraan terakhir, yaitu menentukan perkawinan yang akan dilaksanakan. Upacara adat perkawinan umumnya dilakukan secara meriah dengan berbagai nyayian dan tarian serta pemotongan kerbau atau beberapa ekor babi untuk keperluan pesta. Adat Batak juga mengenal adanya kawin lari yang disebut mangalua.
Jika kawin lari terpaksa dilakukan dalam tempo 1 hari 1 malam harus ada utusan dari pihak keluarga laki-laki yang datang pada orang tua si gadis untuk melaporkannya. Selang beberapa waktu kemudian, apabila diperkirakan keluarga pihak wanita sudah mulai reda marahnya di adakan upacara manuruk-nuruk sebagai cara minta maaf. Kawin lari pada suku Batak boleh dipestakan sesudah upacara permintaan maaf.
Adat perkawinan di Aceh
Pada masyarakat Aceh dalam mencari jodoh dipertimbangkan soal keserasian dan keseimbangan kedudukan antara keluarga pihak pria dan wanita. Kalau keluarga dan pemuda sudah menetapkan gadis pilihannya, maka diutus seorang seulangke (utusan) untuk menemui keluarga pihak wanita.
Apabila lamarannya diterima saulangke dibekali dengan kongnarit (berbagai perhiasan) tanda ikatan untuk diberikan kepada keluarga pihak wanita. Seorang seulangke harus mempunyai kepandaian bicara, luas pengetahuannya, ramah, dan bijaksana karena merupakan wakil dari pihak laki-laki. Pada hari perkawinan saat ijab kabul, pemuda harus menyerahkan mas kawin yang disebut jeunamee.
Besar kecilnya mas kawin biasanya disesuaikan dengan tinggi rendahnya si wanita dalam masyarakat. Setelah perkawinan si pemuda akan tinggal dengan mertuanya. Selama ia tinggal bersama mertua, walaupun telah sah menjadi suami ia tidak mempunyai tanggung jawab terhadap keluarganya, yang bertanggung jawab ialah mertuanya sebagai kepala keluarga. Seorang suami baru memikul tanggung jawab terhadap rumah tangganya kalau sudah diberi sawah atau rumah oleh mertuanya. Pemberian tersebut disebut peunulang.
Apabila lamarannya diterima saulangke dibekali dengan kongnarit (berbagai perhiasan) tanda ikatan untuk diberikan kepada keluarga pihak wanita. Seorang seulangke harus mempunyai kepandaian bicara, luas pengetahuannya, ramah, dan bijaksana karena merupakan wakil dari pihak laki-laki. Pada hari perkawinan saat ijab kabul, pemuda harus menyerahkan mas kawin yang disebut jeunamee.
Besar kecilnya mas kawin biasanya disesuaikan dengan tinggi rendahnya si wanita dalam masyarakat. Setelah perkawinan si pemuda akan tinggal dengan mertuanya. Selama ia tinggal bersama mertua, walaupun telah sah menjadi suami ia tidak mempunyai tanggung jawab terhadap keluarganya, yang bertanggung jawab ialah mertuanya sebagai kepala keluarga. Seorang suami baru memikul tanggung jawab terhadap rumah tangganya kalau sudah diberi sawah atau rumah oleh mertuanya. Pemberian tersebut disebut peunulang.
Adat perkawinan suku Dayak
Seorang gadis Dayak boleh menikah dengan pemuda suku bangsa lain asal pemuda itu bersedia dengan tunduk dengan adat Dayak. Pada dasarnya orang tua suku Dayak berperanan penting dalam memikirkan jodoh bagi anak mereka, tetapi cukup bijaksana dengan menanyakan terlebih dahulu pada anaknya apakah ia suka dijodohkan dengan calon yang mereka pilihkan.
Kalau sudah ada kecocokan, ayah si pemuda datang meminang gadis itu dengan menyerahkan biaya lamaran yang disebut hakumbang Auh. Pada orang Dayak Ngaju umumnya mas kawin berbentuk uang atau perhiasan. Mas kawin di kalangan suku Dayak biasanya tinggi sekali, karena besarnya mas kawin dianggap sebagai martabat keluarga wanita.
Upacara perkawinan suku Dayak sepenuhnya ditanggung oleh keluarga pihak wanita. Untuk pelaksanaan upacara perkawinan dipotong beberapa ekor babi, sedangkan memotong ayam untuk hidangan dianggap hina. Pada upacara perkawinan pengantin pria biasanya menghadiahkan berbagai tanda kenangan berupa barang antik kepada abang mempelai wanita.
Sebagai pernyataan terima kasih karena selama ini abang telah mengasuh calon istrinya. Tanda kenangan yang oleh orang Dayak Ot Danum disebut sapput itu berupa piring keramik Cina, gong antik, meriam kecil kuno, dan lainlain.
Kalau sudah ada kecocokan, ayah si pemuda datang meminang gadis itu dengan menyerahkan biaya lamaran yang disebut hakumbang Auh. Pada orang Dayak Ngaju umumnya mas kawin berbentuk uang atau perhiasan. Mas kawin di kalangan suku Dayak biasanya tinggi sekali, karena besarnya mas kawin dianggap sebagai martabat keluarga wanita.
Upacara perkawinan suku Dayak sepenuhnya ditanggung oleh keluarga pihak wanita. Untuk pelaksanaan upacara perkawinan dipotong beberapa ekor babi, sedangkan memotong ayam untuk hidangan dianggap hina. Pada upacara perkawinan pengantin pria biasanya menghadiahkan berbagai tanda kenangan berupa barang antik kepada abang mempelai wanita.
Sebagai pernyataan terima kasih karena selama ini abang telah mengasuh calon istrinya. Tanda kenangan yang oleh orang Dayak Ot Danum disebut sapput itu berupa piring keramik Cina, gong antik, meriam kecil kuno, dan lainlain.
Adat perkawinan di Jawa
Suku Jawa mempunyai banyak aturan adat dan tata cara perkawinan. Adat perkawinan pada suku Jawa dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu adat pesisiran (adat loran) dan adat pedalaman (adat kidulan). Adat perkawinan Jawa pesisiran dipengaruhi budaya Arab dan Cina, sedangkan adat perkawinan Jawa di daerah kidulan sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu, Buddha, dan Kejawen.
Selain itu, tata tertib, tata ras, pakaian, upacara perkawinan di kalangan suku Jawa terutama dipengaruhi oleh adat Keraton Solo dan Yogyakarta. Hal ini disebabkan pada masa penjajahan, kedua keraton itulah yang menjadi pusat adat dan panutan budaya upacara.
Pada masyarakat Jawa pertimbangan dalam memilih calon menantu berdasarkan bibit, bebet, dan bobot. Pertimbangan bibit, bebet, dan bobot merupakan dasar pertimbangan apakah si calon menantu berasal dari keluarga baik-baik, berperangai baik, dan berada pada kondisi sosial ekonomi keluarga yang setara.
Kalau perhitungan dari segi ini telah memenuhi keinginan, hal berikutnya yang dilakukan adalah nontoni, artinya kesempatan melihat wajah si gadis. Apabila sudah terdapat kecocokan, keluarga pemuda mengirim utusan untuk mengajukan lamaran dan penyerahan paningset (tanda ikatan) berupa seperangkat pakaian terdiri atas kebaya/bahannya, kain batik, selendang, selop, dan juga perhiasan. Upacara memberikan paningset disebut srah-srahan.
Selain itu, tata tertib, tata ras, pakaian, upacara perkawinan di kalangan suku Jawa terutama dipengaruhi oleh adat Keraton Solo dan Yogyakarta. Hal ini disebabkan pada masa penjajahan, kedua keraton itulah yang menjadi pusat adat dan panutan budaya upacara.
Pada masyarakat Jawa pertimbangan dalam memilih calon menantu berdasarkan bibit, bebet, dan bobot. Pertimbangan bibit, bebet, dan bobot merupakan dasar pertimbangan apakah si calon menantu berasal dari keluarga baik-baik, berperangai baik, dan berada pada kondisi sosial ekonomi keluarga yang setara.
Kalau perhitungan dari segi ini telah memenuhi keinginan, hal berikutnya yang dilakukan adalah nontoni, artinya kesempatan melihat wajah si gadis. Apabila sudah terdapat kecocokan, keluarga pemuda mengirim utusan untuk mengajukan lamaran dan penyerahan paningset (tanda ikatan) berupa seperangkat pakaian terdiri atas kebaya/bahannya, kain batik, selendang, selop, dan juga perhiasan. Upacara memberikan paningset disebut srah-srahan.
Langkah berikutnya adalah menentukan hari baik dan bulan baik dan umumnya diserahkan kepada keluarga wanita karena sebagai penyelenggara upacara perkawinan. Selama menunggu upacara perkawinan, si gadis harus membatasi pergaulan dengan pria lain karena pada saat itu sudah dalam keadaan terikat.
Tiga hari menjelang upacara adat perkawinan, keluarga calon pengantin pria datang ke rumah orang tua calon pengantin wanita untuk menyerahkan asok tukon (barang-barang keperluan peralatan perkawinan). Penyerahan asok tukon ini umumnya dilakukan bersama dengan upacara pasang tarub (tanda penutup halaman) untuk para undangan.
Pemasangan tarub dimulai dengan memasang bleketepe, yakni semacam tirai terbuat dari anyaman daun kelapa. Yang memasang bleketepe harus orang tua dari keluarga pengantin wanita. Upacara pemasangan tarub hampir selalu dilakukan bersama dengan sesaji tulak udan (sesaji untuk menolak hujan).
Sementara itu, si calon pengantin wanita sejak lima hari atau sepasar sebelum hari pernikahan sudah harus dipingit. Selama dipingit si gadis harus berpantang terhadap makanan tertentu. Gadis itu harus minum ramuan jamu-jamu khusus demi kebahagiaan pada malam pertamanya. Ia tidak boleh makan umbi mentah, pisang ambon, mentimun, dan mengurangi makan pedas.
Si gadis juga harus selalu mandi dengan lulur serta mangir agar kulitnya halus dan wangi. Selama lima hari dianjurkan agar tidak tidur sebelum pukul 12 malam dan harus bangun pagi sebelum ayam jantan berkokok. Semua dilakukan dalam rangka tirakat agar kelak hidupnya mendapat keberuntungan dan kemuliaan.
Sehari sebelum upacara perkawinan, pengantin wanita dimandikan dengan air bunga (upacara siraman). Untuk mengguyur air kembang ke kepala dan tubuh calon pengantin wanita, dipilih tujuh orang tua dari pihak keluarga wanita. Selama menjalani upacara adat siraman, calon pengantin itu memakai kain telesan yang dililitkan sampai sebatas dada.
Malam harinya diselenggarakan upacara selamatan yang dihadapi oleh keluarga pihak wanita dan keluarga calon pengantin pria, juga tetangga terdekat. Dalam upacara selamatan tersebut calon pengantin wanita dirias oleh juru rias manten, yakni juru rias merangkap pimpinan upacara temu esok harinya. Selesai selamatan diadakan upacara midodareni, di mana calon pengantin putri sudah kelihatan cantik bagaikan bidadari, ia duduk sendirian di kursi pelaminan.
Setelah upacara midodareni selesai pemuda dan kerabat calon pengantin wanita tetap tinggal untuk mengikuti acara lek-lekan yakni tidak tidur semalam suntuk dengan membuat hiasan-hiasan janur. Pada hari perkawinan pagi-pagi sekali calon pengantin wanita sudah harus mandi keramas dengan londo (air larutan merang dan jerami), sesudah itu rambut yang masih basah diberi wewangian, lalu diasapi dengan asap ratus (dupa wangi yang terdapat dari kemenyan dan serbuk kayu gaharu ditambah beberapa ramuan lain).
Selanjutnya calon pengantin wanita dirias dengan diawali pemotongan rambut sinom (rambut tipis di dahi) beberapa saat sebelum ijab kabul dilaksanakan. Pengantin pria datang diiringi oleh kerabatnya, tetapi orang tuanya sendiri tidak boleh hadir.
Orang tua pengantin pria baru boleh hadir kalau upacara ijab kabul dan temu selesai. Ini sebagai perlambang bahwa seorang pemuda yang berani menikah harus berani menikah sendiri tanpa ditunggui orang tuanya. Orang tua baru hadir setelah kedua pengantin didudukkan di pelaminan.
Upacara temu dilaksanakan di pintu masuk ruangan pelaminan. Sebelumnya kedua pengantin dibekali dengan sadak (gulungan daun sirih yang diikat dengan benang lawe). Sadak ini harus dilemparkan pada calon istri atau suami pada saat mereka ketemu dalam upacara panggih.
Orang Jawa percaya, siapa yang paling dahulu melempar sadak akan dominan atau menang dalam kehidupan rumah tangganya. Kalau yang menang pengantin putri, anak sulung mereka mungkin sekali perempuan begitu pula sebaliknya. Pihak yang kalah selama hidup berumah tangga kelak akan selalu mengalah terhadap pasangannya.
Di pintu upacara panggih dipasang seuntai benang warna-warni yang disebut lawe. Dalam adat perkawinan jawa, pengantin pria harus memotong benang itu, lalu menginjakkan kaki kanannya ke sebuah telur ayam kampung sampai pecah dan pengantin putri berjongkok membasuhnya dengan air kembang. Ini adalah sebagai perlambang bakti istri dalam melayani suami.
Sesudah itu, pengantin wanita berdiri mendampingi suaminya, tangan kanan pengantin wanita menggandeng tangan kiri pengantin pria. Saat itu pula ibu pengantin wanita menyelimuti punggung kedua pengantin dengan kain sindur atau selindur dan memegang erat sindur itu di bahu keduanya.
Sementara itu, ayah pengantin wanita berdiri di depan ke dua pengantin. Tangan kanan pengantin pria dan tangan kanan pengantin wanita memegang ujung beskap sang bapak, kemudian melangkah perlahan dengan membimbing kedua pengantin menuju kursi pelaminan. Langkah-langkah mereka diiringi oleh gending Kodok Ngorek atau Monggang.
Orang Jawa percaya, siapa yang paling dahulu melempar sadak akan dominan atau menang dalam kehidupan rumah tangganya. Kalau yang menang pengantin putri, anak sulung mereka mungkin sekali perempuan begitu pula sebaliknya. Pihak yang kalah selama hidup berumah tangga kelak akan selalu mengalah terhadap pasangannya.
Di pintu upacara panggih dipasang seuntai benang warna-warni yang disebut lawe. Dalam adat perkawinan jawa, pengantin pria harus memotong benang itu, lalu menginjakkan kaki kanannya ke sebuah telur ayam kampung sampai pecah dan pengantin putri berjongkok membasuhnya dengan air kembang. Ini adalah sebagai perlambang bakti istri dalam melayani suami.
Sesudah itu, pengantin wanita berdiri mendampingi suaminya, tangan kanan pengantin wanita menggandeng tangan kiri pengantin pria. Saat itu pula ibu pengantin wanita menyelimuti punggung kedua pengantin dengan kain sindur atau selindur dan memegang erat sindur itu di bahu keduanya.
Sementara itu, ayah pengantin wanita berdiri di depan ke dua pengantin. Tangan kanan pengantin pria dan tangan kanan pengantin wanita memegang ujung beskap sang bapak, kemudian melangkah perlahan dengan membimbing kedua pengantin menuju kursi pelaminan. Langkah-langkah mereka diiringi oleh gending Kodok Ngorek atau Monggang.
Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan, barulah orang tua pengantin pria datang. Kedatangan orang tua pengantin pria ini disebut dengan besan mertua. Kedatangan mereka disambut kedua orang tua pengantin wanita dengan diiringi gending Kebo Giro, yakni lagu penghormatan bagi tamu agung.
Setelah mereka duduk, dilakukan upacara sungkem dimulai dari kedua orang tua pengantin kemudian kerabat lainnya. Di kiri dan kanan kursi pelaminan diletakkan kembar mayang yang dibuat dari daun kelapa muda serta beberapa jenis buah-buahan. Ini perlambang kedua mempelai adalah jejaka dan gadis.
Sebelum memasuki ke peraduan ayah pengantin wanita memberikan keris pertanda pengakuan sebagai anggota kerabat dari keluarga pihak wanita diberikan kepada pengantin pria. Keris yang dinamakan kancing gelung itu merupakan tanda ikatan batin antara mertua dan menantu, tetapi jika kelak terjadi perceraian si menantu berkewajiban mengembalikan keris itu kepada mertuanya.
Hari kelima setelah upacara adat perkawinan dilakukan upacara boyongan, pengantin pria membawa istrinya ke rumah orang tuanya. Sebelum boyongan dilaksanakan, pihak keluarga wanita membuat jenang sumsum yang harus dimakan semua orang yang ikut aktif dalam penyelenggaraan upacara itu. Menurut kepercayaan orang Jawa, jenang sumsum ini dapat menghilangkan rasa lelah dan letih akibat pekerjaan yang mereka lakukan.
Sementara itu, di rumah orang tua pengantin pria diselenggarakan persiapan ngunduh mantu, suatu upacara yang mirip resepsi pengantin masa kini. Upacara ngunduh mantu tidak selengkap upacara perkawinan, karena tujuan utamanya hanyalah memperkenalkan kedua pengantin kepada pada tetangga di lingkungan pengantin pria.
Adat perkawinan di Minangkabau
Suku Minangkabau mempunyai sistem kekerabatan yang menganut garis ibu atau matrilineal. Adat perkawinan Minangkabau tidak mengenal mas kawin, tetapi berupa uang jemputan (mirip mas kawin) yang diserahkan oleh keluarga pihak wanita kepada pihak pria. Besar kecilnya uang jemputan disesuaikan dengan kedudukan sosial ekonomi keluarga pihak laki-laki.
Apabila martabat dan kedudukan keluarga pria lebih tinggi (berasal dari keluarga bangsawan), maka setelah upacara dilangsungkan, pengantin pria hanya mengunjungi istrinya pada malam hari saja. Bahkan ia tidak berkewajiban memberi uang belanja kepada istrinya. Oleh karena itu, pada zaman dahulu pria bangsawan beristri banyak untuk menaikkan derajat sosialnya.
Kalau terjadi perceraian, anak dan istri yang ditinggalkan akan diurus oleh saudara laki-laki dari ibu bekas istrinya. Adat semacam itu kini sudah banyak ditinggalkan terutama oleh golongan muda. Kebiasaan merantau pada pemuda Minangkabau membuat mereka mengenal adat suku bangsa lain sehingga adat Minangkabau yang mereka nilai tidak sesuai dengan zaman, banyak yang tidak dipakai lagi.
Apabila martabat dan kedudukan keluarga pria lebih tinggi (berasal dari keluarga bangsawan), maka setelah upacara dilangsungkan, pengantin pria hanya mengunjungi istrinya pada malam hari saja. Bahkan ia tidak berkewajiban memberi uang belanja kepada istrinya. Oleh karena itu, pada zaman dahulu pria bangsawan beristri banyak untuk menaikkan derajat sosialnya.
Kalau terjadi perceraian, anak dan istri yang ditinggalkan akan diurus oleh saudara laki-laki dari ibu bekas istrinya. Adat semacam itu kini sudah banyak ditinggalkan terutama oleh golongan muda. Kebiasaan merantau pada pemuda Minangkabau membuat mereka mengenal adat suku bangsa lain sehingga adat Minangkabau yang mereka nilai tidak sesuai dengan zaman, banyak yang tidak dipakai lagi.
Adat perkawinan Irian
Suku Irian memiliki banyak macam adat perkawinan karena suku itu terbagi atas banyak anak suku. Namun secara umum perkawinan hampir serupa dan adat perkawinan orang Irian termasuk sederhana dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Hal paling penting dalam adat perkawinan itu adalah perundingan dan pembayaran mas kawin yang disebut krae.
Mas kawin dapat berupa babi, rangkaian perhiasan kerang atau manik-manik, hiasan kerang besar yang disebut sebkos, ikat pinggang dari manik-manik yang disebut bitem. Dalam perkembangannya mas kawin tersebut sering ditambah dengan sejumlah uang. Karena mas kawin seperti itu oleh kebanyakan pemuda Irian Jaya, dianggap berat biasanya mereka mengumpulkannya dibantu oleh sanak saudara yang lain. Bahkan tidak jarang mas kawin itu baru dilunasi lama setelah pesta perkawinan berlalu.
Sejak tahun 1930-an banyak suku Irian Jaya yang mengharuskan diadakan upacara perkawinan gereja setelah upacara adat selesai. Namun, kalau upacara perkawinan adat sudah diselenggarakan dengan pesta makan ubi dan potong babi, perkawinan gereja tidak dipestakan. Setelah upacara itu barulah pengantin laki-laki memboyong istrinya ke rumah orang tua pihak laki-laki.
Mas kawin dapat berupa babi, rangkaian perhiasan kerang atau manik-manik, hiasan kerang besar yang disebut sebkos, ikat pinggang dari manik-manik yang disebut bitem. Dalam perkembangannya mas kawin tersebut sering ditambah dengan sejumlah uang. Karena mas kawin seperti itu oleh kebanyakan pemuda Irian Jaya, dianggap berat biasanya mereka mengumpulkannya dibantu oleh sanak saudara yang lain. Bahkan tidak jarang mas kawin itu baru dilunasi lama setelah pesta perkawinan berlalu.
Sejak tahun 1930-an banyak suku Irian Jaya yang mengharuskan diadakan upacara perkawinan gereja setelah upacara adat selesai. Namun, kalau upacara perkawinan adat sudah diselenggarakan dengan pesta makan ubi dan potong babi, perkawinan gereja tidak dipestakan. Setelah upacara itu barulah pengantin laki-laki memboyong istrinya ke rumah orang tua pihak laki-laki.
Comments