Perkembangan Bahasa dan Sastra Masa Penjajahan Belanda
Perkembangan Bahasa dan Sastra Masa Penjajahan Belanda - Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar antar daerah-daerah di kepulauan Indonesia sudah dipergunakan sejak berabad-abad lalu. Bahasa Melayu saat itu sudah digunakan sebagai :
- Bahasa perdagangan sehingga lebih menonjol ke bidang ekonomi.
- Penyebaran agama Islam dan Kristen.
- Campur tangan Imperialis Barat dalam bidang perdagangan dan politik di Indonesia.
- Pelaksanaan pengajaran bagi penduduk pribumi dengan tujuan untuk memperoleh tenaga administrasi.
Akan tetapi karena tujuan pengajaran pada mulanya hanya kepentingan kolonialis dan kapitalis, maka penguasaan bahasa Belanda lebih diutamakan di sekolah-sekolah. Akibatnya kemudian ialah bahwa dalam pergaulan sehari-hari, seseorang merasa lebih terhormat bila menggunakan bahasa Belanda dibandingkan dengan apabila menggunakan bahasa Melayu.
Munculnya suatu elite Indonesia baru sebagai hasil Politik Etis, menumbuhkan beberapa organisasi politik yang bercita-cita untuk mencapai kemajuan dari kemerdekaan bangsa. Penyebaran dari keanggotaan partai-partai tersebut di daerah-daerah Indonesia, memungkinkan penggunaan bahasa Melayu di samping bahasa Belanda, dan kadang-kadang bahasa Jawa, sebagai bahasa Melayu mendapatkan identitas bahasa sebagai bahasa nasional sebagai ungkapan nasionalisme Indoneia yang sedang tumbuh. Kenyataannya memang kongres itu dihadiri oleh wakil-wakil pemuda dari seluruh Indonesia.
Sejalan dengan perkembangan Pergerakan Nasional Indonesia, perkembangan pers berbahasa Melayu juga mendorong pertumbuhan bahasa Indonesia dan identitas bangsa, sebab bahasa ini dapat langsung mencapai dan dimengerti oleh penduduk pribumi. Dalam surat kabar Medan Prijaji, yang terbit pada tahun 1907, nada isinya jelas menunjukkan kesadaran bahasa Melayu sebagai media untuk membentuk pendapat umum mengenai berbagai persoalan masyarakat waktu itu.
Keadaan ini juga terlihat pada sekolah-sekolah swasta nasional, baik yang bersifat umum maupun keagamaan, seperti sekolah Taman Siswa, Muhammadiyah, INS-Kayutanam, sekolah yang diusahakan oleh kaum ibu; bahasa Melayu (Indonesia) menjadi wahana bagi nasionalisme Indonesia.
Peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 merupakan penegasan yang nyata akan perkembangan bahasa dan identitas bangsa.
Rumusan Sumpah Pemuda jelas menunjukkan bahwa bahasa Melayu, yang tadinya hanya dipakai oleh suatu suku Melayu, dinyatakan sebagai bahasa persatuan nasional, dan diberi nama bahasa Indonesia. Begitulah sumpah satu nusa dan satu bangsa yaitu Indonesia, merupakan peresmian adanya nasionalitas Indonesia, produk daripada nasionalisme yang telah berkembang sejak permulaan abad ke-20.
Semenjak itu penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai kesempatan sejalan dengan kesadaran akan identitas nasional. Latar belakang budaya dan sosial pemakaian bahasa Indonesia tercermin dalam karangan-karangan mereka. Polemik tentang budaya Indonesia, antara tahun 1935 – 1939, memperlihatkan penggunaan bahasa Indonesia yang makin sempurna dalam bermacam langgam. Hasil karya sastra Indonesia, baik sebagai terbitan Balai Pustaka maupun diluarnya, jelas menuju kesempurnaan bahasa Indonesia.
Poedjangga Baroe yang terbit sejak tahun 1933 dan yang tokoh utamanya adalah St. Takdir Alisyahbana, Armyn Pane, Sanusi Pane, dan Amir Hamzah, merupakan cermin kegiatan intelektual elite nasional baru yang dengan sadar menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi modern di tengah-tengah perkembangan ilmu dan teknologi. Kongres Bahasa Indonesia pada bulan Juni 1938 di Solo membahas kemungkinan penggunaan bahasa yang lebih efektif di berbagai bidang.
Keputusan-keputusannya, seperti maksud untuk mendirikan sebuah lembaha bahasa, fakultas bahasa, penggunaan bahasa Indonesia sebagai “bahasa hukum”, sebagai media dalam sidang dewan-dewan perwakilan, dan niat menyusun suatu tata bahasa baru sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam struktur bahasa, karena efeknya luas bagi nasionalisme Indonesia, masih sulit untuk dilaksanakan pada waktu itu. Salah satu peristiwa penggunaan bahasa Indonesia adalah di sidang Volksraad pada tahun 1938, yang dilancarkan oleh Moh. Husni Thamri dan Fraksi Nasional.
Penggunaan kata Indonesia untuk daerah Nusantara, sudah mulai diperkenalkan pada pertengahan abad yang lalu. Dalam arti geografis J. R. Logan, seorang pegawai pemerintah Inggeris di Penang dan seorang redaktur majalah Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, telah memperkenalkan kata Indonesia dalam sebuah artikelnya di majalah itu tahun 1850. Nama itu dipergunakannya untuk kepulauan dan penduduk di Nusantara ini.
Seorang etnolog Inggris lainnya, G. Windsor Earl, pada tahun yang sama dan dalam majalah yang sama menulis sebuah artikel tentang ciri-ciri utama penduduk di Nusantara dan penduduk asli Australia. Ia mempergunakan istilah Indos-nesians dan Melayu-nesians bagi penduduk di kepulauan ini. Tetapi dalam pilihannya ia lebih condong untuk pemakaian istilah Melayu-nesians, karena pengertiannya khusus untuk kepulauan Nusantara.
Dengan demikian A. Bastian bukanlah orang yang pertama penemu kata Indonesia, karena istilah itu baru dipakainya pada tahun 1884. Dan melalui karya-karya guru besar universitas di Negeri Belanda terutama Van Vollenhoven, Snouck Hurgronje, R. A. Kern dan lain-lain, istilah Indonesisch, Indonesie dan Indonesier makin tersebar luas. Sesudah Kebangkitan Nasional, pemakaian kata ini oleh kaum nasionalis makin berkembang dalam arti politik dan ketatanegaraan.
Sebelum tahun 1920, dijumpai nama-nama seperti Indonesisch Verbond van Studerended, Indische Vereeniging, Indishche Partij, Indonesisch Persbureau, dan lain-lain. Sesudah tahun 1920 kata Indonesia lebih umum pemakaiannya oleh orang-orang Indonesia dan mencapai puncaknya pada tanggal 28 Oktober 1928. Dan sejak itu pula dituntut kepada pemerintah Belanda untuk mengganti istilah Nederlandsh-Indie dan Inlander dengan Indonesie dan Indonesier.
Comments